2

55 4 0
                                    

Hiiii! Soooo, this is the second imagine! Dan cerita ini beda sama imagine sebelumnya yaaa. Jadi jangan bingung bacanya! xoxo

Hari Sabtu yang kelabu, menurutku. Ayah dan Ibu—yang lagi-lagi—kembali bertengkar karena satu dan lain hal yang tidak pernah kumengerti, kakak perempuanku yang sibuk dengan urusan sekolah anaknya, dan juga kakak laki-lakiku yang selalu menyibukkan diri dengan kekasihnya tanpa mau mempedulikan keadaan rumah.

Dan aku? Well, sekarang ini aku sedang menyendiri di Starbucks dengan buku jurnalku, sketch book, novel The Mortal Instrument: City of Ashes yang merupakan lanjutan dari novel The Mortal Instrument: City of Bones karya Cassandra Clare yang sedang kugemari, iPod, dan tentunya ponselku. Aku sedang cuti menjadi penengah Ibu dan Ayahku yang sedang bertengkar, atau menjadi penasihat kakak laki-lakiku yang selalu membangkang perintah Ibuku—yang kemudian berujung aku harus menerima cacian sok dewasa dari kakakku.

In case you’re wondering, kenapa harus aku? Oh, that is… The same question that always popped in my head. Dan aku sama sekali tidak bisa menjawabnya. It’s just.. It has to be me. Ibuku dan Ayahku memiliki kepribadian yang sama—they’re as stubborn as my elder sister and brother. Aku mulai meragukan bahwa sebenarnya aku ini hanya anak adopsi yang berguna untuk menengahi mereka semua.

“Uhm, excuse me?” Aku kemudian membuka mataku dan melepas headset yang sedang kupakai ketika seseorang menepuk pundakku sebanyak dua kali dan mendapati sosok familiar berambut cokelat dengan mata birunya yang berhasil menghipnotisku untuk beberapa saat. Ah, andai saja adik sepupuku ada disini, ia pasti menjerit sekarang. “Apa kau keberatan jika aku duduk disini? Tempat lainnya sudah penuh.” Lanjutnya yang kemudian membuatku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Aku mengangguk sedetik kemudian dan kembali memasang headset yang terbukti ampuh menghipnotisku sehingga aku tidak sadar bahwa Starbucks ini sudah ramai.

Bibirku kembali menyenandungkan lagu It Will Rain milik Bruno Mars yang sedang terputar dalam iPod-ku. Aku mulai curiga iPod ini mampu mendeteksi cuaca karena sebentar lagi disini akan hujan dan benda ini memutarkan lagu ini.

Lupakan itu, aku sedang melantur.

“(Louis shouted your name)” Aku kembali tersentak saat pria berambut cokelat ini melambaikan tangan di depan wajahku sembari berseru memanggil namaku. Tunggu, darimana ia tahu namaku? “Ya?” Ia tersenyum kemudian. “Tidak apa, maafkan aku sudah berteriak di depanmu. Beruntung tertera namamu di coffee cup mu.” Bodoh, aku baru menyadarinya bahwa tiga coffee cup yang berada di depanku tertulis namaku.

“It’s alright. What’s wrong?” Tanyaku padanya. “Nothing. Aku hanya berpikir aneh sekali kita berada pada satu meja tetapi kita tidak saling berbicara.” Aku mengangguk dengan ragu kemudian. “Aku hanya berpikir kita tidak saling kenal, dan kau hanya meminta tempat untuk duduk, bukan teman untuk berbicara.” Ia tersenyum singkat sebelum menjawab perkataanku. “You’re right.”

“But seriously, you don’t know who I am?” Tanyanya. Aku menggeleng kemudian tertawa kecil. “It’s not like that, stupid. I know you, everybody knows that you are Louis Tomlinson.” Aku segera menutupi mulutku dengan sebelah tanganku setelah mengetahui apa yang baru saja kulakukan—memutar mata dan juga berkata kasar pada seseorang yang baru saja kukenal.

“My bad. Old habits die hard.” Ia tertawa kemudian. “It’s alright. I get it that you’re in a bad mood.” Aku mengernyitkan dahi kemudian. “I can tell that from your eyes.” Lanjutnya, aku tergelak. “My sister’s right, you’re a weirdos.” Ia tertawa kemudian. “Your sister is my fans?” Tanyanya dengan nada tidak percaya.

“Believe me or not she always persuade me to accompany her to see your concert. I think she’s crazy about you guys. Bahkan ia rela membelikanku tiket hanya untuk menemaninya!” Ia ikut tertawa bersamaku, entah mengapa rasanya moodku berubah begitu cepat. “Of course, you’re so familiar to me.” Aku langsung terdiam. “Aku selalu melihatmu disetiap konser kami di London, kupikir kau fans berat. Ternyata tidak, ya?” Tanyanya kemudian. “It’s not like that. Meskipun begitu aku juga ikut mendengarkan beberapa lagumu.” Jawabku. Ia manggut-manggut kemudian.

What If...Where stories live. Discover now