BAB I

60 10 15
                                    

: satu :

-oo0oo-

Angin mengembus pelan, membuat tirai kamar berwarna hijau asetat itu berayun. Rendahnya celsius dari luar sana merambat masuk lewat celah jendela yang kini dibiarkan terbuka. Beberapa kali terusap lengan yang merinding akibat dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dini hari tadi, hujan deras telah turun untuk mengguyur seluruh kotaku. Hingga pagi ini, sisa-sisa hujan itu masih ada. Masih terasa. Masih berjejak. Kabut, embun, angin .... Bahkan masih ada rintik-rintik kecil yang jatuh perlahan dari langit.

Meski begitu, hal itu tidak dapat menghentikan seluruh aktivitas pagi hari di luar sana. Tidak peduli dengan suhu yang sangat dingin ini, tidak peduli dengan rintik-rintik yang mungkin bisa membuat mereka sakit, semua aktivitas orang-orang tetap akan berjalan seperti biasanya. Sebagaimana pagi-pagi tanpa hujan sebelum ini. Tentu saja. Rintik kecil tidak akan membuat mereka rela untuk melewatkan peristiwa-peristiwa penting yang mungkin akan terjadi hari ini.

Dari sini, dari tempatku berdiri sekarang, dari jendela kamarku yang kusyukuri terletak di lantai dua, aku bisa melihat beberapa dari aktivitas itu. Tidak semua memang, tetapi cukup untukku bisa menyadari banyak hal.

Dari atas sini, dengan bantuan lampu-lampu jalan yang masih dibiarkan menyala temaram, aku bisa melihat tetangga  di depan rumahku. Meski tidak mengenal mereka sebaik Bunda, tetap saja aku mengulas senyum jika kami berpapasan. Eyang berkali-kali mengajarkanku bahwa senyum adalah bentuk keramahan, kesopanan, kepedulian, bahkan ketegaran. Maka, aku pun melakukannya. Aku tersenyum.

Di bawah sana, seorang laki-laki berumur separuh abad, yang kutahu telah bekerja sebagai sopir keluarga itu sejak aku kecil, kini sedang membersihkan mobil yang mungkin akan digunakan majikannya hari ini. Suara air yang keluar dari selang panjang bahkan bisa terdengar hingga sini.

Dengan pakaian rumahan tipis yang dipakainya, aku bertanya-tanya apa udara dingin dan air itu telah sangat membuatnya merasa kedinginan atau tidak. Namun, meski dia merasa kedinginan sekalipun, dia harus tetap melakukan tugasnya, bukan? Apa dia punya pilihan? Mungkin ada, mungkin juga tidak ada.

Di kejauhan, sama-samar namun pasti, suara kelentingan yang berirama tertangkap oleh gendang telingaku. Bayangan pertemuan antara sendok aluminium dengan mangkuk bergambar ayam jago merah terproyeksi begitu saja oleh pikiranku. Tukang bubur keliling yang memang berkeliling seluruh kompleks setiap pagi pun tetap berjualan.

Kelentingannya terhenti, mungkin ada yang sedang membeli bubur. Sementara itu langit masih menumpahkan kesedihan lewat rintik. Apa penjual bubur itu tidak takut jika terserang demam? Namun, apa dia punya pilihan?

Tangis bayi yang tiba-tiba pecah dari salah satu rumah mengalihkan fokusku dari suara kelenting yang mulai mengirama lagi. Tangisan yang tersedu-sedu itu tidak langsung berhenti. Mungkin si bayi terbangun karena lapar atau mengompol. Mungkin juga dia merasakan udara yang terlalu dingin ini. Cukup lama waktu yang terlewat untuk akhirnya suara tangis itu mereda, kemudian hilang.

Kalaupun benar dia mengompol, lapar, atau kedinginan, apakah dia dapat melakukan hal lain selain menangis? Apakah dia bisa melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri selain menunggu orang-orang dewasa melakukan hal itu untuknya? Lagi-lagi, pikiranku menjawab, apa dia punya pilihan?

Cicit-cicit burung mulai terdengar nyaring. Semburat jingga yang mulai tampak dari arah timur mengingatkanku bahwa sudah saatnya untukku beranjak dari tempat menyenangkan ini. Tempat di mana aku bisa menyaksikan sebagian kecil dari dunia yang fana. Sekali lagi, kuperhatikan pak supir yang sudah selesai dengan selang airnya. Yang kini sedang mengelap badan mobil dengan lap khusus. Sebentar lagi, pekerjaannya akan tuntas. Tapi aku tahu telah ada sederet pekerjaan lain yang sudah menunggunya.

SyamsuagniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang