"Ric-chan, oi Ric-chan!" Ucap lelaki tampan berpakaian santai yang duduk di hadapanku, membuatku menoleh ke arahnya.
"I-iya, kenapa sih. Kan sudah kubilangin, jangan memanggilku dengan nama seperti itu, namaku Rachel. R-A-C-H-E-L." Ucapku penuh penekanan dengan pipi melembung dan mata melotot ke arahnya.
Sejenak dia tampak sedang berfikir sambil menatap ke wajahku, membuatku menggeser pandang ke arah lain. Karena bisa kurasakan wajahku memanas, saat dia menatapku.
"Ku-kuba-ngan?" Ucapnya polos secara tiba-tiba, membuat tawaku meledak dan menggema sampai ke setiap sudut cafe. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa kata "kubilangin" berubah menjadi kata "kubangan" yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali.
Sesaat kemudian, gelak tawaku kembali memenuhi setiap sudut cafe disaat melihat ekspresi serius Asuta yang tengah melakukan pencarian di browser sambil kerap kali berpura-pura memasang wajah cemberut saat menatapku. Sesaat kemudian aku segera berdeham dan diam, aku baru menyadari, bahwa ada banyak pasang mata pelanggan lain yang menoleh karena mendengar suara tawaku, aku malu.
Pandanganku kembali terfokus ke arah pemandangan yang ada diluar cafe, karena dinding cafe hanyalah berupa kaca tipis, sehingga terlihat jelas para pejalan kaki berlalu lalang sibuk dengan urusan mereka masing masing.
____
Kira kira sudah berjalan satu bulan, setelah aku bertolak dari Indonesia. Aku memutuskan untuk kuliah di luar negeri, lebih tepatnya di salah satu universitas ternama di Tokyo.
Sedangkan lelaki tampan yang duduk dihadapanku, namanya Asuta Jurai. Dia satu satunya teman seangkatanku, yang lumayan lancar menggunakan bahasa Indonesia, dan oleh karena itu saat bepergianpun aku selalu berdua dengannya. Kadang terlintas begitu saja dalam benakku, "Mungkinkah ini yang dimaksud oleh pepatah lama, lengket seperti perangko?".
Dan juga namaku, Rachel Kusuma. Kusuma itu berasal dari marga ayahku, yang notabene merupakan salah satu bangsawan di Indonesia.
Hidup sebagai putri dari seorang bangsawan tidaklah seindah yang dibayangkan, bahkan bagiku sendiri merupakan suatu kutukan yang membuat hidupku tidak tenang.
Selain harta yang melimpah, serta nama yang selalu dihormati, semuanya selalu diatur. Bahkan dalam urusan cinta, diriku sudah dijodohkan dengan putra seorang bangsawan yang merupakan salah satu dari aliansi perdagangan milik Ayah.
Aku sudah muak dengan itu semua, dan bersikeras untuk memilih pasanganku sendiri. Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Ayahanda. Dan menghasilkan keputusan, aku akan bersedia menikah setelah lulus kuliah.
_____
"Ric-chan.. Ric-chan.." Ucapan Asuta kembali membuyarkan lamunanku, kali ini Asuta menggoyangkan tangannya kepundakku. "Aah iya, maaf kamu tadi bicara apa?"
"Hmm, kamu ini kenapa? Dari tadi melam-." Suaranya terpotong, bukan, lebih tepatnya terhenti. Terlihat jelas Asuta dengan mulutnya yang sedang terbuka karena terhenti saat melafalkan huruf vokal a. Dan para pejalan kaki dengan satu kaki yang mengambang, karena waktu yang berhenti dan suara riuhnya yang terdiam.
Semuanya berhenti, layaknya adegan TV yang di tekan tombol pause.
'Ini sudah yang ke lima kalinya."
Aku biasa memejamkan mata, dan merapalkan segala doa yang kuingat saat hal ini terjadi. Aku berharap semuanya segera kembali normal, seperti yang sebelumnya pernah ku alami.
Namun tiba-tiba muncul sebuah cahaya merah yang sangat terang, membuatku menutupi mata dengan kedua telapak tangan.
Cahaya itu berbentuk oval, semakin besar dan banyak petir merah yang menyambar didalamnya. Kemudian mucul satu tangan membawa sabit yang juga berwarna hitam legam, seperti malaikat kematian.
Sekarang, didepan lubang dimensi itu sudah berdiri seseorang dengan jubah serba hitam, serta memakai topeng yang menakutkan. Dia mendekat ke arahku pelan, dengan melayang dalam posisi tegak berdiri.
Aku bergidik ngeri, dan mencoba untuk bangkit dari kursi untuk menjauh. Namun kedua kakiku terasa lemas, dan tak hentinya terus bergetar. Petir merah dibelakangnya sedikit demi sedikit mulai menghilang, diikuti dengan lubang dimensi yang semakin mengecil.
Aku sangat ketakutan, disaat Dia semakin mendekat ke arahku. Keringat dingin mengalir deras dari pelipisku, serta gigi gigiku gemretak saling beradu. Kemudian kututup rapat rapat mataku dengan kedua tangan, dan berharap sang malaikat segera menghilang.
"Mun terus." Tiba tiba terdengar lanjutan dari ucapan Asuta, kuputuskan membuka perlahan kedua mataku. Perasaan lega dan takut bercampur aduk memenuhi dadaku.
Keadaan disekitarku sudah kembali berjalan dengan normal. Pelayan cantik dengan pakaian cosplay kembali mengantarkan pesanan ke meja pelanggan. Suara riuh para pejalan kaki kembali terdengar, terdengar kompak dengan suara klakson dan mesin bermotor yang berlalu lalang diluar kafe.
Aku masih menggigil menatap Asuta dengan raut wajah ketakutan. Keringat dingin tak hentinya mengalir dari pelipisku.
"Ric-chan? Kamu kenapa? Wajahmu pucat." Aku hanya mengeleng sambil menatapnya, sebisa mungkin aku menahan air mataku agar tidak menetes.
"Asutaa, aku ingin pulang." Ucapku lemah sambil menutup mulutku dengan kedua tangan. "Baiklah, akan kuantar. Nanti aku yang izin ke dosenmu."
*
Aku berbaring di kasur, mencoba untuk tertidur. Akan tetapi, bayangan tentang kejadian pagi tadi terus terngiang dalam otakku.
'Apakah itu malaikat mautku?'
#17 Nov 2017
__________________________________________
Hai, lagi-lagi aku iseng bikin cerita😹
Ketikkan komentar kalian di kolom komentar, dan juga bantuan berupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME's LEAP : Endless Paradox
FantasyApa yang akan kamu lakukan, jika kamu memiliki kemampuan untuk memanipulasi waktu? Jika kalian bertanya kepadaku, aku akan menghentikan waktu untuk selama-lamanya. Agar tidak ada penyesalan lagi dalam hidupku.