#Bestfriend_Forever
.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun menatap keluar lewat jendela kamar.
Di luar sana cuaca cerah. Matanya terpaku ke sebuah rumah mungil dimana tumbuh pohon mangga kecil di halamannya. Tidak ada yang aneh, hanya ada satu keluarga yang tengah sibuk mengangkat koper dan dus-dus coklat ke sebuah mini van hitam yang terparkir di sisi jalan.
Sang ayah dan ibu sibuk membenahi barang bawaan, sementara dua putri kecilnya sesekali membantu, tapi lebih sering bermain berlarian di seputar halaman.
Erick namanya. Bocah laki-laki berwajah tampan berambut kemerahan. Sekilas tak ada yang aneh, hingga mereka menatap ke arah kaki yang terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya.
Dari atas kursi roda di balik jendela kaca di lantai dua, dia mengamati ke luar sana. Sesekali tersenyum, membayangkan jika saja ia yang sedang berlarian di bawah langit biru dengan halaman berseri penuh bunga, diiringi tawa keluarganya.
Ceria, bahagia.
Senyum di wajahnya menghilang, seiring dengan kaca-kaca yang mulai menghalangi pandangannya. Bukan hanya karena tidak dapat melakukan hal-hal menyenangkan yang ia pikirkan tadi, tapi karena menyadari sebentar lagi dia akan kehilangan seseorang yang menemaninya selama ini.
Mata birunya menangkap sosok anak perempuan kecil seusianya yang tadi berlarian riang di halaman rumah mungil itu kini menuju ke sini. Dari balik pintu, terdengar suara riangnya bertanya pada seseorang.
Erick menoleh, tepat pada saat pintu kamarnya terbuka.
"Erick!" Gadis kecil itu memanggil. Senyum lebar terkembang di wajah polosnya. Mata hitam yang cantik itu terlihat berbinar-binar penuh kebahagiaan.
Ya dia bahagia. Sementara Erick? Bocah laki-laki itu kini diliputi kesedihan.
"Kenapa wajahmu sesedih itu?" Senyum di wajahnya menghilang, ikut terseret kesedihan yang terpancar dari wajah sahabatnya.
Erick mengusap airmata yang menitik dengan punggung tangannya, "Apa menurutmu aku harus merasa senang, Kimmie?" Suaranya berbisik menahan getar.
Anak perempuan itu mendekat, lalu berlutut dan menautkan kedua lengan di kaki sahabatnya. Mendongak, menatap wajah memerah itu penuh haru.
"Jangan sedih ... aku bisa mengunjungimu setiap libur sekolah," bisiknya dengan mata dan hidung ikut memerah. Lalu jemari mungil yang halus itu membantu usapkan airmata yang beberapa kali menitik di pipi sahabatnya.
"Aku ... biasa bicara denganmu setiap hari, kan? Sekarang ... dengan siapa aku harus bicara?" Lagi, punggung tangannya menyeka mata. Seiring dengan dada yang mulai sesak karena kesedihan akan ditinggalkan.
Terbayang di pelupuk matanya bagaimana menghabiskan harinya tanpa Kimmie. Selama ini sepanjang hari, dia hanya duduk di dekat jendela. Mengamati kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang. Hanya bisa memandangi mereka satu persatu, melihat senyum dan tawa mereka. Melihat kebahagiaan di wajah mereka. Apalagi anak-anak seusianya yang pulang-pergi mengenakan seragam. Mereka saling berlarian, bercanda, dan bersepeda. Sementara dia?
Dia hanya di sini. Duduk dan hampir membusuk dalam waktu yang teramat panjang.
Erick tidak punya ayah ataupun saudara. Ibunya sibuk bekerja di kantor. Sementara asisten rumah tangga yang dipercaya untuk mengurus segala keperluan Erick, jarang sekali mengajak bicara. Wanita setengah baya itu sibuk dengan pekerjaan rumah yang dibebankan padanya.
Selama ini masih ada Kimmie yang setiap hari datang. Membawa cerita seru tentang sekolah, pelajaran dan teman. Erick selalu menunggunya. Selain karena cerita-ceritanya tentang kehidupan menyenangkan di luar sana juga karena, juga karena kehadiran Kimmie selalu membahagiakan hatinya. Keberadaan gadis ceria itulah yang mengisi hari-harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bestfriend Forever [Completed]
FantasyStory of Shan : Tentang jiwa yang tertahan karena rasa cinta sahabatnya.