Berjalan di koridor sebuah gedung pencakar langit ibukota, lelaki itu menuju salah satu ruangan. Dengan penampilannya yang amat rapi; rambut hitam pendek yang tercukur rapi, tubuh atletis dengan tinggi sekitar 160 cm, jas hitam dengan kemeja putih didalamnya, celana hitam, sepatu mengkilat, serta tak lupa dasi hitam tersemat di lehernya, dia mengetuk pintu ruangan itu, dan masuk ke dalamnya.
Didalam, sebuah ruangan besar yang menghadap langsung dengan kaca luar gedung itu. Tidak banyak barang disana, hanya beberapa lemari di sudut ruangan dan meja kantor di dekat kaca.
Di meja itu, duduklah seorang perempuan. Penampilannya seperti gadis abg berumur 25 tahun kebawah dengan rambutnya yang hitam panjang, baju kantor modis yang mengikuti fashion, serta sepatu hak tinggi dengan warna senada bajunya.
Di meja itu tertulislah papan namanya. Herlina Rasmawati. Ketua Divisi 25, Kepala Ketenagakerjaan Umum.
"Kamu sudah datang rupanya, Radit." Ucap Herlina, kepada orang yang baru saja memasuki kantornya itu.
"Setelah panggilan tugas, tentu saja." Jawab Radit. "Dan, tante Lina, baju siapa lagi yang tante pinjam itu?"
"Enak aja pinjam. Tante beli sendiri, tau. Dan juga, berhentilah memanggilku tante. Panggil nama aja, sih, jangan kaku begitu. Kalo malu ya bilang. Kamu boleh panggil 'kakak' kok."
"Nggak, tante. Makasih." Radit membalas kembali. "Rasanya tante harus mulai inget umur deh. Umur 31 itu udah nggak cocok make baju kayak gitu. Sama cari jodoh sana. Ketuaan ntar nggak ada yang mau."
"Heh, keponakan yang satu ini mulutnya lupa dikontrol ya. Jangan ngomongin umur didepan cewek, dong! Nggak sopan! Peka dikit napa!"
Kelakuannya itu, bagaimanapun, memang seperti abg meski di umurnya yang sudah masuk kepala tiga itu.
"Ya ya, terserah. Jadi, apa tugasnya?" Radit memotong. Dia paham bahwa pembicaraan mereka takkan masuk ke intinya sebelum dipotong seperti itu.
"Melihat umurmu yang sekarang memasuki 15 itu, aku kagum bahwa kamu bisa jadi agen senior seperti ini. Salut untukmu, Radit." Herlina kemudian membolak-balik lembaran kertas di mejanya.
"Sebenarnya, kamu ada di usia yang sangat kentang sekali." Ucapnya, setelah membalik berlembar-lembar kertas. "Terlalu tua untuk sebutan anak-anak, terlalu muda sebutan orang dewasa. Misi yang bisa kamu lakukan sekarang amat terbatas, karena terlalu mudah dicurigai."
"Memangnya dari sebelum-sebelumnya aku nggak pernah dicurigai?"
"Dengan tampang polos anak kecilmu sejak 6 tahun lalu itu? Hah. Hampir nggak mungkin. Kamu bisa dengan mudah menyusup dan menyelesaikan misi, kan? Itulah untungnya punya badan kecil, mau lewat mana aja gampang. Tapi sekarang kamu udah terlalu gede untuk misi yang kayak gitu."
Herlina kemudian mengambil selembar kertas dari tumpukan itu, dan memberikannya kepada Radit. "Ini misimu tiga tahun kedepan."
Radit mengambil kertas misinya, dan membacanya. "Pengawalan?"
"Ya. Kamu akan masuk sebagai murid SMA di SMA Negeri 102 Jakarta. Kepala sekolahnya adalah salah satu kolega penting, dan juga pemegang saham. Lokasi SMAN 102 Jakarta itu dicurigai telah dimasuki intel agen lain, yang ber-oposisi dari kita. Selama tiga tahun, lindungi putri kepala sekolah, lalu cari tahu intel agen lain yang ada disana. Bagaimanapun, mereka itu berbahaya."
"Apa aku harus mengawal hingga ke rumah kepala sekolah?"
"Tidak, tidak perlu. Cukup di sekolahnya saja. Putri kepsek ini terlalu batu buat diomongin. Dia maksa untuk dihilangin semua pengawalannya, atau dia nggak bakalan pernah mau keluar dari kamarnya."
"Kalau begitu, bukannya ini melanggar permintaan anak itu?"
"Nggak. Dia nggak mau keihatan mencolok soalnya. Semua pengawal non-murid harus tidak ada di hadapannya. Kalau pengawalnya juga sekolah disitu, nggak masalah buat dia."
"Lalu tentang intel-intel lawan itu. Haruskah aku 'membersihkan' mereka?"
"Tidak perlu. Laporkan saja padaku, biar kuurus sisanya."
"Tumben tante mau ngurus. Biasanya pusing sendiri saat mulai mengurus intel lawan dan seenaknya memerintah 'bunuh aja semua', kan?"
"Ih, ikut campur aja urusan orang tua." Herlina berkata ketus. "Ini perintah atasan, mau gimana lagi. Pokoknya di data saja mereka dan laporkan, paham?"
Radit mengangguk. Dia sekali lagi membaca kertas yang menjadi tugasnya itu.
"Satu lagi, Radit." Herlina berkata. "Karena administrasi sialan itu, kamu akan tetep masuk sebagai murid baru. Di absensi, kamu terdaftar sebagai Radit Traditdja, nama aslimu. Hati-hati terhadap informasi privasi, karena ya, kamu tahu kan, anak remaja itu bisa jadi stalker handal. Jangan sampai rahasiamu bocor, atau kamu yang harus membereskan itu sendiri."
Radit kembali mengangguk. "Kalau begitu, aku kembali dulu."
"Ya, hati-hati. Ingat, sekolah akan dimulai Senin, 26 Mei nanti. Siapin semua yang diperluin, berlakuah seperti murid biasa. Jangan nyari ribut sama kakak kelas, bisa repot nanti soalnya. Serius sekolahnya, jangan lupa cari teman, ikut ekstrakulikuler kalau mau, dan—"
"Iya iya, tante. Tante bawel ih."
Radit keluar begitu saja, meninggalkan tantenya, Herlina, yang sepertinya masih ingin bicara banyak.
"Ampun deh, anak itu." Herlina bersandar pada kursinya, yang memiliki sandaran besar nan empuk. Dia melihat kalender, melihat salah satu bulatan merah buatannya disana. Disana tercatat: Rabu, 18 Mei, ultah Radit Traditdja.
"Sudah 10 tahun sejak diasuh sama Tio, ya. Anak itu, dulunya penakut, sekarang malah jadi nggak kenal namanya takut mati. Yah, dia udah ngalamin banyak hal berat, sih."
Disamping kalender, ada potongan foto yang mulai terlihat usang. Diambilnya foto itu, dan diusapnya perlahan. Foto itu berisikan 3 orang; dirinya ketika masih berumur 22 tahun, seorang anak kecil yang terlihat kumuh, dan seorang pria yang terlihat tua.
Itulah foto kenangannya dengan Tio Dirgaraja, boss-nya, panutannya, dan orang tua angkat dari Radit Traditdja.
"Bos, anak angkatmu sudah sanggup mempertahankan dirinya sendiri tuh. Sanggup melakukan pekerjaan, bahkan sekarang penghasilan perbulannya lebih dari UMR. Tapi aku takut kalau dia nggak bisa mencari kebahagiaan seperti remaja seusianya. Semoga dia bisa mendapat kebahagiaan di masa SMA-nya, itu aja cukup. Semoga, semoga dia bisa mendapat passion untuk hidup, tak lagi hidup dengan hati yang hampa..."

YOU ARE READING
Catatan sang Penjaga Pisau Hati
RomanceBerada di umur yang 'tanggung', membuat Radit harus berhenti melakukan pekerjaan mencolok sebagai Intelejen, dan beralih kepada misi pengawalan sekaligus menjalani kehidupan normal layaknya ABG biasa. Target pengawalan, siswi SMA seumurannya, Lina...