4• Perasaan Baru

1.2K 82 0
                                    

Setelah meninggalkan Gaara di ruangannya, Naruto langsung menuju anak-anak. Ia melihat interaksi kedua anak itu. Dan tanpa sadar senyum terbit di wajahnya.

Naruto tidak tahu dari mana datangnya perasaan hangat yang tiba-tiba menggelayuti tubuhnya, dan membuat perlahan es yang sudah lama menggunung di hatinya mencair. Ia juga tak tahu dari mana datangnya perasaan nyaman yang menyenangkan saat melihat Boruto tengah berusaha menenangkan Himawari yang masih menangis. Naruto benar-benar tak tahu. Tetapi, yang pasti, ia benar-benar bahagia mendapatkan perasaan itu lagi.

"Halo anak-anak. Apa kalian sudah siap?" Naruto menginterupsi kegiatan mereka. Bolt bingung dengan pertanyaan Naruto, sebaliknya Himawari sangat bersemangat dan mengangguk antusias.

Naruto tersenyum melihat tingkah mereka. Mereka benar-benar polos. "Tapi, tunggu sampai besok, karena Bolt harus beristirahat. Tidak apa, kan?" katanya lalu mengelus kepala mereka.

Naruto merasa seperti menjadi seorang ayah dengan dua anak yang menggemaskan dan dia tidak mengerti mengapa pemikiran itu terlintas dalam kepalanya. Bahkan keponakan dari sepupunya Karin pun, dia tidak merasakan apapun, lalu kenapa dengan dua anak itu? Apakah karena wajah mereka yang membuatnya ingat dengan wanita itu?

...

Naruto membawa mereka di apartemen miliknya. Apartemen sederhana hadiah dari sang ayah ketika ulang tahun ke-17, namun tak pernah sekalipun dia kunjungi lagi setelah sembilan tahun berlalu.

Apartemen ini masih sama seperti terakhir kali ia kunjungi. Baik perabot maupun tata letaknya masih sama persis. Tukan beraih yang ia perintahkan untuk selalu menjaga apartemennya benar-benar melaksanakan pekerjaannya dengan baik.

Naruto mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Di ruang tamu itu banyak menyimpan kenangan dirinya bersama Hinata. Beralih pada dapur. Di sana, Hinata selalu membuatkannya makanan. Di sana mereka juga sering bercanda. Di sana Hinata selalu menegurnya karena sering mengganggu wanita itu ketika memasak. Di sana juga terlalu banyak menyimpan kenangan mereka. Ah, bukan hanya di sana, namun di seluruh ruangan apartemen ini. Saking banyaknya hingga Naruto tidak sanggup lagi untuk tinggal di apartemen ini, tetapi dia juga tidak bisa melepasnya. Kadang. Hanya terkadang saja, saat ia sudah tak bisa lagi membendung rindunya terhadap wanita itu.

Anggap saja ia lelaki yang terlalu setia, atau lelaki bodoh karena sampai sekarang, meskipun setelah sembilan tahun berlalu, dan setelah ia ditinggalkan, perasaannya masih tetap sama seperti dulu. Ia masih mencintai wanitanya. Seolah sembilan tahun itu merupakan jarak waktu yang sangat dekat, hingga sosok wanita itu tak pernah hilang dari pikiran Naruto.

Jadi, memang benar, 'kan, jika perasaan cinta itu sudah dititipkan padamu, maka perasaan itu tidak akan mudah dihilangkan. Sekeras apapun usaha untuk menghilangkannya, bahkan dengan waktu yang terus berjalan, pasti tidak bisa hilang, kecuali jika Tuhan sendiri yang berkehendak untuk menghapus perasaan itu.

...

Naruto mengistirahatkan mereka di dalam kamarnya. Kamar yang sering dia gunakan bersama Hinata, dulu. Mengingat itu, Naruto kembali terpekur pada masa beberapa tahun silam. Masa-masa bahagianya, saat senyum bukanlah hal yang sulit dia lakukan. Tawa adalah kebiasaan dan teman dalam kesehariannya, dan bahagia adalah bersama Hinata.

"Paman, tidur di mana?"

Suara cempreng milik Himawari mengalihkan Naruto dari lamunannya. Ia tersenyum lantas berjongkok sembari mengelus kepala gadis cilik itu.

"Jangan khawatir. Paman akan tidur di kamar sebelah. Kalau kalian butuh sesuatu, langaung bilang ke paman, oke?!" Himawari mengangguk sementara Boruto menjawab, "oke." disertai dengan cengiran.

Senja Di Penghujung TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang