Satu

315 5 1
                                    

" TOK,TOK,TOK! TOK, TOK, TOK!"

" Ahhh! Siapa sih ribut-ribut?!"

" TOK,TOK,TOK! TOK, TOK, TOK!"

" Iyaaa. Tunggu sebentaar!", teriakku tak mau kalah oleh suara ketukan, atau lebih tepatnya gedoran pintu kontrakanku. Kalau itu tamu, sangatlah tidak sopan siang-siang begini mengganggu tidurku yang baru satu jam ini. Padahal baru saja kuniatkan, hari Minggu ini aku akan tidur siang sampai petang, sebab kemarin aku jalan-jalan seharian dan melelahkan, setelah itu aku bergadang menonton Liga Inggris. Aku tak peduli. Pokoknya aku ingin hibernasi!

Tapi tamu tak tau sopan santun ini merusak niatku dengan gedoran pintu yang bisa dibilang tak santai itu. Setelah cuci muka dan mengelap wajahku, aku buru-buru ke ruang tamu. Tepat setelah kubuka pintu, sebelum sempat kumaki, tamu ini nyelonong begitu saja ke dalam kontrakanku, berbelok ke kamarku. Tanpa permisi, bahkan tanpa menengok wajahku. Mengetahui tamu siang bolong ini, niatku memakinya kuurungkan.

Kututup kembali pintu kontrakanku dan menyusulnya ke kamarku. Dia terbaring tengkurap, masih menggunakan tas selempangnya, masih belum melepas topinya. Ia tengkurap sambil memainkan kuku jari tangannya. Aku yang masih berdiri di sampingnya, dapat melihat bibirnya yang masih ada sisa lipstick itu cemberut. Aku menghela napas panjang. Ia masih sibuk memainkan kuku jarinya. Entah apa yang ia tekuni di sana. Aku berbalik keluar kamar dan menuju dapur, membuka kulkas dan meraih sebotol air mineral dan kutuang ke gelas, lalu kembali menemuinya di kamar.

"Nih, minum dulu." Kusodorkan segelas air itu padanya. Ia melirikku dan bangkit, duduk, kemudian meraih gelas di tanganku. Dia minum sampai habis, kemudian menyodorkan gelas kosong itu padaku. Kuletakkan gelas itu di bangku kamarku. Seingatku, hari ini ia ada janji jalan-jalan dengan Deny, pacarnya. Seingatku, kemarin ia bilang akan jalan sampai malam karena ingin quality-time dengan pacarnya. Maka dari itu, aku berniat untuk hibernasi.
"Kenapa cemberut gitu?" akhirnya terlontar dari mulutku. Kalau tak ditanya begitu, ia tak kan memulai bercerita. Aku duduk di kursi menghadapnya yang masih duduk diam di kasurku. Sebenarnya aku ingin sekali mengusirnya dari kasurku, aku sungguh masih lelah dan ingin kembali merebah di kasur. Namun tentu saja itu tak kulakukan.

Ia kembali tidur tengkurap di kasurku, sambil mendengus kesal. Aku beranjak dari kursiku, duduk di lantai di mana aku bisa berhadapan dengannya. "Kamu lihat, ini. Mataku.", kataku kemudian sambil menunjuk mataku, "aku habis bergadang semalem dan baru mau tidur siang, kalau kamu ga cepat cerita nanti aku tinggal tidur lagi aja, ya?"

"Iiiihh, jangan dong! Iyaa iyaa.." kemudian ia terdiam lagi, menatap lurus ke jendela kamar yang ada di belakangku. "Yaudah, jadi kenapa?Ga jadi jalan?" tembakku langsung. Ia tak menjawab, malah kembali diam. Matanya masih tertuju pada luar jendela. Ia berkedip. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan air mata menganak sungai di pipinya. Ia menundukkan wajahnya pada kasurku. Aku menghela napas panjang.
"Kau nangislah dulu. Kalau sudah selesai, baru cerita ke aku. Oke?" belum selangkah aku beranjak, ia menggaet pergelangan tanganku. "Kamu di sini aja." Katanya lirih. Aku menurutinya. Ia lalu mengusap sisa-sisa air mata di pipinya dan kutebak akan mulai berbicara perihal sakit hatinya. Aku sudah siap mendengarkan ceritanya yang lagi-lagi menyoal tentang pacarnya itu.
"Aku sudah bikin janji sama Deny."

Nah, kubilang juga apa. Tak salah lagi, ini soal Deny. Aku hanya mengangguk-angguk seraya menatapnya, membiarkan ia menyelesaikan curhatnya.

"Janjiannya jam dua belas, dia bilang akan menjemputku. Aku keluar kos lima menit setelah ia sudah di depan, karena aku masih nyari dompetku. Pas aku keluar, eh dia ngomel-ngomel Jiii. Kan aku sebel. Orang nunggu bentaran doang."

"Memangnya dia ngomel gimana? Biasanya juga kamu diomelin, kamu biasa aja.", sergahku, yang sudah hapal betul kalau pacarnya ngomel, dia akan nurut-nurut aja.

"Yaa dia ngomel karena aku lama, Ji. Dia takut film yang kita tonton keburu mulai dan habis tiket. Padahal lima menit doang, dan filmnya masih sejam lagi. Terus aku balas bilang ke dia 'Giliran nunggu aku bentar aja ngomel-ngomel. Coba kalau aku yang lagi pingin nonton, kamunya santai-santai aja tuh!' Ya abis aku kesel, Ji. Aku nyeplos aja begitu."
Aku menguap lebar, sebelum ia masuk ke cerita intinya, bagian yang membuat ia datang ke mari mengganggu tidur siangku. "Go on", kataku menyuruhnya melanjutkan.

"Terus dia bilang, 'Yaudah besok-besok aku ga ngajak kamu nonton lagi lah'. Terus aku marah dan nyuruh dia pulang. Dan dia pulang beneraan..." Dia mulai menangis lagi. Menelungkupkan wajahnya dengan kedua tangan dan membenamkannya ke kasurku. Aku menghela napas panjang. Ingin memakinya karena ternyata hal sesepele itu yang mengganggu tidur siangku. Tapi melihatnya masih menangis telungkup, kumaki dalam hati saja.
"Yaudaah.. Palingan marahnya dia juga cuma sebentar kan? Kamu tinggal minta maaf kaya biasanya, nanti dia juga baik lagi. Nggak usah sedih-sedih amat." balasku. Sekenanya.
Ia mengangkat kepalanya, melihatku. Aku makin bingung karena tangisnya semakin membanjir. Bibirnya makin melengkung ke bawah. Dan ia kembali membenamkan wajahnya ke kasurku. Apakah aku salah bicara? Ah, dasar perempuan! Aku memilih diam saja, masih duduk di lantai menghadapnya yang masih sesenggukan. Lambat laun tangisnya berkurang. Hanya saja kepalanya masih menghadap kasurku. Kalau saja ia bukanlah sahabatku, sudah pasti kusuruh ia mencuci spreiku yang banyak ingusnya itu.

"Kenapa harus selalu aku yang minta maaf? Kan dia juga salah, ngomel-ngomel kalau sudah inginnya. Kalau orang lain yang ingin dia nggak gitu perhatian. Kan aku capek harus ngalah terus, Ji.", katanya, masih menempelkan dagunya di kasur, namun sudah menghadapku.
"Kalau capek, ya istirahat. Kalau capek, nggak usah pacaran", jawabku asal.
"Iiihh. Kok kamu ngomongnya gitu sih? Makin bikin sebel!"
"Heh, kamu pikir aku nggak sebel kamu datang siang-siang ganggu tidur siangku cuma gara-gara pacarmu yang gila itu?", hardikku. Dalam hati. Jelas dalam hati. Apa? Mau bilang aku penakut? Mau bilang aku pengecut? Silakan saja. Nanti kau tahu sendiri bagaimana rasanya menjadi aku. Si Pengecut Panji.

"Del, kalau kamu masih mikir begitu, tandanya kamu masih hitung-hitungan. Kamu masih menghitung berapa kali harus kamu yang memulai minta maaf duluan. Kamu masih menghitung setiap kali dia bikin kamu sebel dan marah-marah nggak jelas. Kamu masih menghitung berapa kali kamu harus mengalah. Sayang sama orang itu nggak kaya gitu, Del.", adalah kata-kata yang akhirnya keluar dari mulutku.

"Terus, gimana dong? Ga bisa bohong juga kan, Ji, kalau hati ini sebenernya juga capek ngalah terus." Rengeknya. Kini kepalanya sudah agak naik, meski masih ia sangga dengan kedua sikunya.

"Kan aku sudah bilang, kalau capek, ya istirahat. Break.", aku berdiri dan berjalan ke dapur, mengambilkan ia air putih segelas lagi. Ia masih diam saja, mungkin merenungkan "nasihat"ku. Selesai meneguk habis air putihnya, ia duduk tegap di kasurku. Masih menghadap jendela.

"Mending, kalau mau ngelamun, kamu duduk di kursi dekat jendela situ, tuh, Del, di bangku tulisku. Biar aku yang di sini. Aku ngantuk banget. Mau tidur." Entah kesambet apa, ia menuruti kata-kataku. Tanpa menjawab usulku, ia beranjak langsung dan duduk di kursi yang kutunjuk. Dekat jendela. Tanpa mengusik dia lagi, aku merebahkan badanku ke kasur dan membelakanginya. Kemudian kudengar suara, "Panji, aku boleh nggak di sini dulu?"

"Terserah. Aku mau tidur." Jawabku sambil menarik selimut sampai menutupi seluruh badanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Segala RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang