KAMU

175 9 0
                                    


Sore itu cuaca mendukung manusia yang ingin beraktivitas di luar ruangan. Aku menjadi salah satu diantara manusia-manusia itu dan tanpa sengaja, aku dan kamu bertemu.

Kamu memberikan senyum termanismu kala itu. Namun, saat itu hatiku masih hancur lebur, luka karena seseorang. Ketika itu, senyum manismu hanya angin lalu belaka. Dengan waktu pertemuan yang cukup singkat itu, aku tidak menganggap sesuatu spesial terjadi.

Beberapa bulan kemudian, kita bertemu kembali. Dengan disengaja tentunya. Saat itu, kamu juga memberikan senyuman terbaikmu. Namun sayang, kala itu hatiku telah menemukan tempat berlabuh. Ada seseorang yang berhasil memperbaiki hatiku yang sedang hancur. Walaupun setelah dia memperbaiki, dia kembali menghancurkannya, tapi kali ini tidak sehancur yang sebelumnya. Jadi waktu itu, aku masih bisa bertahan.

Waktu terus berlalu. Makin ke sini aku makin merasa dia menghancurkanku secara perlahan. Hingga suatu masa, hatiku kembali hancur lebur. Hancur sehancur-hancurnya. Mulai saat itu, aku berusaha memperbaiki hatiku sendiri sekaligus membuat benteng pertahanan yang kuat agar tidak mudah jatuh.

Semenjak itu, hatiku sulit menerima orang lain. Mulai saat itu, kata hati dan otakku mulai berkorelasi. Mereka sejalan. Kala itu aku bangga karena tidak mudah jatuh lagi. Kala itu aku bahagia karena pertahanan hati yang kubuat ternyata cukup kuat.

Sampai tiba waktu kamu datang. Kamu kembali memberi senyum indah itu. Kamu datang dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Tanpa kuketahui, cahaya itu ternyata mampu menerobos benteng pertahanan hatiku.

Tuturmu selalu membuka mataku. Tingkahmu selalu mengundang tawaku. Kamu bijak dan kekanakan disaat yang bersamaan. Tanpa disadari, kita semakin terbuka tentang diri masing-masing seolah semua kepercayaan kuserahkan untukmu dan semua kepercayaanmu diserahkan kepadaku.

Aku pun mulai terbiasa dengan hari-hari yang dilalui bersamamu. Aku mulai terbiasa dengan namamu yang selalu ada pada notifikasi di ponselku. Aku mulai terbiasa berbincang tentang apapun denganmu. Aku mulai terbiasa denganmu. Aku mulai ketergantungan padamu.

Setelah memendam sendirian untuk beberapa waktu, aku tiba pada masa mulai memberanikan diri untuk menceritakan hal ini pada seorang sahabat terbaikku. Dengan wejangan penuh peringatan, dia yakin bahwa kamu orangnya. Namun saat itu aku belum bisa percaya dengan sahabatku seratus persen. Aku tidak mau menyimpan ekspektasi tinggi kepadamu, saat itu.

Hingga tiba di suatu masa aku mulai berharap padamu. Mulai menyimpan ekspektasi tinggi. Mulai jatuh sejatuh-jatuhnya. Merasa bahwa kamulah orangnya. Merasa bahwa kamu bukanlah dia yang menyembuhkan lalu melukai, bukan dia yang memperbaiki lalu menghancurkannya kembali.

Namun, di saat itu pula, kamu tiba-tiba pergi, hilang, entah ke mana. Kamu membawa semua cahaya itu sehingga aku tertinggal dalam gelap seorang diri. Tak ada lagi canda tawamu yang selalu kamu bagikan denganku seperti biasanya. Tak ada lagi namamu di notifikasi ponselku seperti biasanya. Tak ada lagi cerita yang kamu ungkapkan padaku seperti biasanya. Tak ada lagi kamu.

Mulai saat itu aku seperti hilang arah. Kamu, tempatku bergantung, pergi. Aku tiba pada nadirku dan tak ada lagi kamu yang membawa cahaya itu.

Sekarang aku tahu, jika jatuh hati berlebihan, maka sakitnya akan berlebihan juga. Maka dari itu, jatuh hati seadanya, sehingga saat patah hati juga akan seadanya.

Aku juga paham bahwa berekspektasi terlalu tinggi membuat kita lebih sakit saat jatuh. Maka, jangan berekspektasi.

Dan aku juga mengerti, tak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi hanya Sang Pencipta. Maka, jika ingin bergantung jangan pada dunia ataupun sesuatu yang hidup di dunia, tapi bergantunglah dengan Sang Pencipta dunia.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang