TRY HARD

78 3 2
                                    




Kakiku melangkah memasuki gedung yang cukup besar di depanku. Dari sini terlihat banyak remaja seusiaku melakukan berbagai aktivitas. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada juga yang serius. Aku tahu mereka, tapi tak mengenal lebih jauh. Sekedar tahu. Melihat aktivitas beragam itu, kadang muncul sedikit keinginanku untuk seperti mereka, menjadi bagian dari mereka. Namun sayang, aku tak bisa. Aku berbeda. Setidaknya itulah yang ada dipikiran mereka.

Aku memasuki sebuah ruangan yang setiap harinya menjadi tujuan akhirku di dalam gedung ini, ruang kelas. Kepalaku menunduk. Aku hanya membiarkan langkah kaki membawaku menuju meja paling belakang.

Aku duduk di kursinya dan mataku langsung menelusuri sekeliling kelas dan aktivitas itu terhenti pada sebuah kursi di sudut depan yang diduduki seseorang, yang entah sejak kapan aku kagumi itu. Rambut panjangnya selalu tergerai indah. Otak cerdasnya selalu membuatku terkagum. Tanpa terasa, aku telah memandanginya cukup lama. Untung saja dia tak sadar. Hingga akhirnya aku harus memberhentikan kegiatanku memandanginya karena seorang laki-laki datang dan mengajaknya keluar kelas. Ya, dia telah dimiliki orang lain.

Seharusnya, aku tak perlu merasa sakit hati. Lagi pula, siapa aku? Hanya seorang laki-laki yang bahkan tak memiliki seorang teman pun di sekolah. Seorang laki-laki yang pengecut. Mana ada perempuan yang mau? Apalagi perempuan istimewa sepertinya.

Pulang sekolah selalu kuisi dengan kegiatan berlatih, atau lebih tepatnya bermain, gitar dan bass milikku di rumah. Hanya di rumah aku bisa berkesplorasi sesukaku. Sebenarnya bisa saja aku bergabung dengan klub band sekolah atau sesekali memainkan alat-alat musik di sekolah. Namun sekali lagi, mereka menganggapku berbeda. Mereka terlanjur memandangku sebagai makhluk lemah yang tak bisa apa-apa dan aku terlalu malas untuk mengubah pandangan mereka terhadapku.

Beberapa hari kemudian, aku mendengar kabar bahwa akan ada siswa baru yang masuk ke kelasku. Dan pastinya anak baru itu akan duduk di sebelahku karena hanya kursi di sebelahku yang tersisa. Apa yang harus aku lakukan? Mendiamkannya atau mencoba berteman?

Kemudian anak baru itu datang. Dia laki-laki dan sepertinya cukup bersahabat. Dan benar saja, ketika dia duduk di sebelahku, dia langsung mengajakku berkenalan.

Dia baik. Sangat baik. Bahkan dia mau berteman denganku. Padahal, aku sudah mewanti-wantinya akan dijauhi seisi sekolah jika masih saja berteman denganku. Namun dia tidak peduli. Dia malah menjadi 'tameng'ku saat anak-anak lain mulai menggangguku.

Suatu hari, dia bilang dia membutuhkan seseorang untuk bergabung dengan bandnya. Katanya, mereka membutuhkan bassis. Setelah berpikir cukup panjang, aku memutuskan untuk bilang padanya bahwa aku bisa memainkan bass, walau belum mahir benar, dan berminat untuk bergabung pada bandnya. Tak kusangka, dia menyambut hal itu dengan sangat-sangat senang.

Akhirnya aku bergabung dengan band itu. Di sini, aku diterima selayaknya teman. Mereka tidak membeda-bedakanku seperti yang teman-teman sekolahku lakukan. Bahkan kami bisa bercanda bersama. Baru kali ini aku bisa bergaul lagi.

Awal-awal pembentukan band, kami mendapatkan cemoohan tak terbendung. Bahkan di sekolah, aktivitas membully-ku semakin menjadi. Di mading tertempel poster band kami dengan tanda silang besar berwarna merah. Intinya, kami tidak diterima orang-orang yang mengenal kami.

Sampai suatu hari, sebuah label rekaman ternama 'menemukan' kami. Katanya, mereka menyukai karya yang kami sebarkan di media sosial. Mereka juga sempat memposting ulang karya kami dan ternyata mendapat sambutan baik masyarakat. Intinya, mereka ingin menaungi kami.

Setelah berhasil masuk ke label rekaman ternama, saat itu aku telah lulus sekolah, kami diberikan kesempatan untuk konser kecil-kecilan. Siapa sangka tiketnya habis dalam masa tiga hari penjualan.

Semakin hari, semakin banyak yang mengenal kami. Orang-orang yang dulu sering membully-ku banyak yang berbalik menyemangatiku, mereka meminta maaf dan menyesali perbuatan mereka dulu. Namun, tak sedikit pula yang masih menyimpan rasa tak suka.

Hingga tiba di suatu masa di mana nama band kami sedang naik-naiknya. Di mana-mana nama kami disebut. Undangan manggung berdatangan sana-sini hingga kami kewalahan sendiri. Di saat itu pula, kami memutuskan untuk membuat konser tunggal yang pastinya lebih besar dari sebelumnya.

Sambutan baik ternyata masih berpihak pada kami. Kala itu, tiket konser yang tersedia cukup banyak pun masih kurang hingga akhirnya panitia memutuskan untuk menambah dua ratus tiket, dan masih saja kurang.

Ketika saat konser tiba, aku sedang mengalungkan bassku sambil melihat ke lautan manusia di depanku. Tanpa kusangka, aku mendapatkan seorang gadis yang dari dulu sangat aku kagumi, berdiri di barisan paling depan dan aku tak menemukan laki-laki yang dulu menjadi kekasihnya di sana. Dia tersenyum padaku. Senyumnya sangat manis dan aku sempat terpaku untuk beberapa detik hingga tabuhan drum membangunkanku dari lamunan.

Sepanjang konser, aku sesekali melirik padanya dan dia selalu tertangkap sedang melihatku. Apa ini artinya rasaku berbalas? Entahlah, bahkan begini saja aku sudah senang sekali. Apa mungkin dia mengetahui tentang rasaku? Entahlah, kalaupun dia tidak tahu, aku masih belum berani untuk mengungkapkannya sekarang. Seperti ini rasanya cukup. Setidaknya, dia telah menganggapku ada di dunia ini. Dan itu sudah lebih dari cukup.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang