Dua

7K 550 19
                                    

Aku dan Minggyu berjalan di pusat perbelanjaan setelah membeli Game 18+ keinginan Minggyu. Tebakanku benar, aku di jadikan dompet cadangan karena uangnya kurang.

Minggyu berjalan dengan raut wajah senang serta sebuah paper bag yang di pegang di tangan kanannya. Karena Minggyu tiba-tiba berhenti berjalan, aku juga menghentikan langkahku dan memandangnya.

Dia sedang memandang layar ponselnya dengan wajah kaget. "Sial, aku lupa untuk mengantarkan ibuku. Maaf Jungkook, tapi aku harus pulang duluan" ucapnya lalu berlari melewatiku dengan tergesa-gesa.

Aku mengerti kenapa dia sangat terburu-buru. Ibunya adalah wanita baik hati tapi ia selalu mendidik Minggyu dengan sangat disiplin, alasan apapun tidak dapat diterima oleh ibunya.

Tapi sudahlah, aku memang berniat menyuruhnya pulang duluan tadi sedangkan aku pergi ketempat kakak bekerja.

Aku meneruskan perjalanan menuju tempat kerja kakak. Sebuah kafe yang cukup terkenal di kota ini.

Aku masuk kedalam dan mencari keberadaan kakak. Aku menemukannya sedang membawa nampan berisi pesanan yang sepertinya untuk seorang pelanggan di sini.

"Kakak!" panggilku padanya saat dia kebetulan lewat di depanku.

Jimin berhenti dan menoleh padaku. "Ah, Kook. Bisa kau mencari tempat duduk dulu? Setelah aku selesai mengantarkan pesanan, aku akan segera menemuimu" ucap Jimin lalu kembali berjalan menuju meja yang berada di samping dinding bagian timur kafe ini.

Karena aku tidak mau mengganggu orang-orang dengan berdiri di depan pintu, aku melangkah mencari meja kosong. Ada satu, di sudut kafe. Tanpa mencari yang lain, aku melangkah menuju meja itu.

Aku duduk di kursi dengan pandangan yang terfokus pada Jimin yang sedang bekerja.

Jimin sudah bekerja di kafe ini sejak beberapa bulan yang lalu. Katanya dia bosan hanya berdiam diri di rumah sendirian, jadi dia mencoba mencari pekerjaan Part Time. Kebetulan saat itu kafe ini sedang kekurangan pegawai dan Jimin langsung di terima bahkan sebelum mengatakan apa-apa. Keberuntungan yang hebat.

"Maaf membuatmu menunggu, Kook"

Karena melamun, aku tidak sadar kalau Jimin sudah berdiri di sampingku. Aku mengulas sebuah senyuman. "Tidak masalah kakak " ucapku.

"Ne, apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya kakak dengan sebuah Bolpoint dan buku catatan kecil siap di tangannya.

"Kalau begitu aku pesan Jeon Jimin untuk di bawa pulang dengan krim vanilla di seluruh tubuhnya serta taburan potongan Strawberry" ucapku bercanda.

Kakak berusaha menahan tawanya karena candaanku yang mungkin terdengar aneh baginya. "Kau ini ada-ada saja, Kook" ucapnya. Hanya dengan melihatnya tertawa membuat perasaanku tenang dan bahagia.

"Aku serius Kook, apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya lagi dengan sikap khas seorang Maid. "Bisa kita mengobrol saja?" tanyaku menatap wajahnya.

Kakak menolehkan kepalanya kesekeliling kafe untuk mengecek keadaan. Dia memandangku. "Baiklah" ucapnya lalu duduk di kursi di depanku.

"Apa tidak apa-apa?" tanyaku ragu. Kakak kan pegawai di sini, apa dia tidak akan kena masalah jika duduk bersama pelanggan?

"Jangan khawatir. Yang lain pasti dapat menggantikan tugasku, lagipula jam kerjaku sebentar lagi selesai" ucap Kakak tanpa keraguan. "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan tangan yang bertumpu di atas meja.

Kami hanya mengobrol membicarakan ini dan itu, tidak ada yang penting.

Jimin memandang jam tangannya. "Jam kerjaku sudah selesai" ucap Kakak lalu berdiri dan melangkah menuju pintu yang bertulisan 'Staff Only' di depannya.

Sambil menunggunya ganti baju, aku membuka ponselku dan memandangi foto-foto Kakak yang kuambil entah kapan. Muncul foto ku bersama Kakak serta seluruh keluarga kami. Foto kami berempat, aku, kakak, ayah, ibu empat tahun yang lalu.

Semuanya terlihat bahagia di foto itu. Foto ini di ambil waktu ulang tahunku, saat semuanya masih baik-baik saja, sebelum 'retakan' muncul di keluarga kami.

Sebelum kedua orang tuaku bercerai dan berpisah, kami bahagia dan baik-baik saja tapi sekarang tidak sama lagi.

Aku memandangi foto itu dengan perasaan rindu dan sedih. Rindu akan kebersamaan kami semua dulu dan sedih karena semuanya tidak mungkin kembali lagi.

Tidak pernah terbesit perasaan benci pada keduanya, kecewa pasti kurasakan tapi aku menerimanya mungkin takdir kami saja yang kurang baik.

Ayah pergi keluar negeri untuk bekerja dan tahun lalu ia telah menikah dan berkeluarga disana tapi ia selalu mengirimi kami uang yang cukup banyak. Ibu sudah menikah lagi sejak dua tahun perceraiannya dengan ayah, awalnya aku dan kakak tinggal bersama dengan ibu tapi setelah ibu menikah kami memutuskan untuk menyewa tempat tinggal sendiri.

Terlihat menyedihkan memang, seolah-olah orang tua kami membuang kami tapi tak apa aku tak membenci mereka. Aku memiliki kakak tak ada yang perlu dikawatirkan selama ia bersamaku.

'Puk'

Seseorang memegang pundakku dan menarikku dari dunia lamunanku. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering sekali melamun baik ada atau tanpa sebab.

Aku menoleh kesamping. Kakak sudah mengganti pakaiannya dengan sweater berwarna biru laut. "Kau kenapa?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, hanya melamun. Kita pulang sekarang?" tanyaku balik mengalihkan pembicaraan.

"Ayo!" dia mengambil tanganku dan menyeretku mengikutinya keluar kafe.

Matahari sudah hampir tenggelam dan jalanan mulai menyepi. Kakak dan aku pulang dengan bergandengan tangan. "Ne, Kook. Apa kau merindukan keluarga kita yang dulu?" tanya Kakak tiba-tiba.

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. "Kenapa kau bertanya tiba-tiba begini?" tanyaku balik. Kakak menundukkan kepalanya. "Hanya ingin tau" jawabnya pelan.

Aku memandang kedepan dan menjawab. "Sejujurnya aku merindukan masa-masa itu, tapi kurasa aku tidak peduli lagi dengan itu" jawabku. Jimin mengangkat kepalanya memandangku. "Kenapa?" tanyanya bingung dengan wajah bingung.

"Asalkan Kakak bersamaku, aku tidak peduli lagi dengan masa lalu. Yang lalu biarkanlah menjadi kenangan, aku hanya ingin menikmati waktuku yang sekarang bersama Kakak" ucapku tanpa pikir panjang.

Kakak tersenyum dan memeluk lenganku, menyandarkan kepalanya di bahuku. "Terimakasih, Kook. Aku sangat menyayangimu" ucapnya.

Aku ikut tersenyum. "Kau tau jika aku lebih kak"

.

.

.

Benar. Yang perlu aku lakukan hanyalah membiarkan yang telah lalu menjadi kenangan dan menikmati waktuku sekarang bersamanya. Asalkan dia bersamaku, aku tidak membutuhkan yang lainnya. Cukup dia seorang. Kakak tetaplah seperti ini bersamaku.


TBC


[Re-Pub]
• Kimmypand 2017 •

BROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang