"Kak, buruan!" Rion mengangguk sebab panggilan Aksa untuknya. Laki-laki itu baru saja selesai bersiap-siap. Sebelum menyusul Aksa yang sudah berjalan lebih dulu menuju mobil, Rion menyempatkan diri untuk mengambil topi beserta jaket putihnya.
"Nggak ada yang tinggal, kan?" Rion memastikan sesaat setelah menutup pintu mobil.
Aksa menggeleng, "Udah semua. Komiknya Araz juga udah Aksa tambahin."
"Episode baru?" Rion bertanya sementara dahinya mengernyit.
"Iya," jawab Aksa tersenyum sumringah.
"Kamu yang beli? Kapan?"
"Tadi." Aksa kini membuang muka, sedikit takut sebab Rion tampak penasaran. "Sebenernya hari ini Aksa ngewakilin sekolah buat tampil di acara musikal, Kak. Nah lokasinya itu deketan sama toko buku. Jadi Aksa mampir kesana, terus ketemu komik favorit Araz."
"Kamu masih main musik?" Rion bertanya dengan keterkejutan dalam kepalanya. Dia pikir, adik laki-lakinya itu sudah lama meninggalkan dunia musik. Rion kira, Aksa akan menyerah untuk sekedar memetik kembali senar gitar, atau hanya meniup harmonika.
Aksa tidak mengangguk maupun menggeleng. "Aksa latihan di ruang musik sekolah."
Rion tersenyum bangga. "Kakak pikir kamu beneran ninggalin hobi kamu."
"Tapi Aksa tetep ngerasa bersalah, Kak. Aksa bisa main musik apapun, tapi Araz enggak. Jangan bilang ke Araz kalau Aksa main musik ya, Kak."
Rion menghela napas, lalu mencoba menunjukkan senyum terbaik pada Aksa. "Terus, uang kamu kepakai berapa buat beli komiknya? Nanti kakak ganti."
"Nggak usah, Kak. Lagian Aksa juga pengen beliin Araz sesuatu pakai uang Aksa sendiri."
Ini yang membuat Rion bertahan sampai sekarang. Rasa cinta kedua adiknya kerap memberi Rion pelajaran untuk terus menjadi kuat. Mereka secara tidak langsung menyemangati Rion bahwa sesudah hujan, tentu akan muncul pelangi.
Rion mengulurkan tangan bermaksud mengacak rambut Aksa penuh sayang. "Araz bakalan seneng dapet komik lagi hari ini."
Setelah itu, kedua anak lelaki berbeda umur tersebut memutuskan untuk segera meninggalkan rumah menuju tempat dimana Araz dan sang bunda berada.
Selama perjalanan, Rion tak pelak memikirkan Judith. Lelaki itu sadar hal apa yang telah ia lakukan pada Judith. Bahkan Rion tidak sanggup membayangkan hal apa yang akan Judith pikirkan mengenai sikap Rion tadi. Lelaki itu memang bodoh. Dan Rion tau bahwa ada hal yang salah dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya ia kembali melihat Judith. Dan seluruh rasa bersalah itu seperti mengandanginya, menghukumnya. Rion berharap bahwa pudding pemberiannya dapat mengurangi sedikit dari besarnya kesalahan yang telah ia perbuat. Namun kedatangan Judith menuju kelasnya benar-benar di luar dugaan Rion. Bahkan sikap yang Rion tunjukkan, lelaki itu benar-benar ingin menghancurkan kepala dengan tangannya sendiri.
'Bego,' rutuk Rion dalam hati entah untuk yang ke berapa kali.
Seharusnya ia yang mendatangi Judith lebih dulu. Bukannya membuat perempuan itu membuang tenaga hanya untuk datang kepadanya. Kesalahan Rion karena pergi, dan juga kesalahan Rion sebab tidak bertindak cepat untuk menemui Judith lebih awal ketika ia kembali lagi ke kota ini. Dan sekolahnya sekarang, ternyata Judith merupakan cucu sang pemilik.
Rion memejamkan mata. Ia butuh seseorang untuk mengutuknya habis-habisan kini. Mengatakan bahwa Rion benar-benar manusia terburuk yang pernah ada sebab tidak pernah menghargai pertemanan yang telah semesta percayakan padanya.
"Kak," panggilan Aksa membuat Rion menoleh, pikirannya seketika buyar.
"Kenapa?"
"Nanti kakak pulang lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Banana Cold Pudding [SUDAH TERBIT]
Jugendliteratur📝 [SEBAGIAN BAB SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN!] Judith Aluna al-Vadric, sosok gadis manis yang cinta mati sama pudding dingin dan pisang manis. Mengira kalau masa putih abu-abunya akan berjalan persis seperti skenario buatannya, karena...