"Yon, jangan kayak ginilah." Ceisar yang sudah datang sejak satu jam lalu hanya bisa menatap nanar teman sekaligus adik laki-lakinya itu. Walaupun sudah mencoba mengajak Rion bicara, tanggapan Rion sama sekali tidak ada. "Lo mau sampai kapan duduk di sini doang?"
Rion mendongak, tidak untuk melihat Ceisar, tetapi melihat dengan perasaan berhamburan pintu ruang operasi yang tertutup rapat dimana adik kesayangannya tengah berjuang melawan penyakit. Jika boleh, Rion ingin sekali masuk dan menemani adiknya sampai titik darah penghabisan. Untuk sebentar saja, Rion ingin agar semesta memberikannya kesempatan agar dapat menyampaikan sesuatu pada Araz.
Rasanya menyakitkan, terlebih kecewa pada sang bunda karena tetap saja berpegang teguh pada pilihannya agar Araz di operasi. Sebelum Araz memasuki ruangan tadi, Rion sempat disemangati oleh perawat yang memang menjadi tempatnya bercerita.
"Cuma doa, Yon, yang sekarang bisa kamu lakuin. Serahin semuanya sama Pencipta, karna cuma Dia yang paling tau apa yang terbaik buat kita semua. Kalau Araz selamat, tandanya masih percaya sama kalian, tapi kalau Araz harus pergi, ikhlasin dia."
Kalimat tersebut memang sederhana, namun mampu membunuh energi di tubuh Rion. Dan kini ia hanya dapat terduduk lemah di salah satu kursi rumah sakit, merapalkan doa berharap Araz diberikan yang terbaik.
"Yon," panggil suara yang lain, bukan Ceisar sebab lelaki itu sudah jongkok dan bersandar di dinding rumah sakit. Ketika dilihatnya seseorang yang baru saja datang, Ceisar hanya mampu tersenyum kecil, dia tidak bertenaga lagi untuk berdiri.
"Nggak bakalan ngomong dia, Nik," ujar Ceisar lemah dengan gelengan. Sementara Niko, ia harus sekuat tenaga menahan diri. Diambilnya tempat di sebelah Rion, mencoba menepuk bahu temannya itu walau tidak direspon sama sekali.
Bukan hanya mengenai kondisi Araz, tetapi melihat Rion terlihat kehilangan arah seperti ini juga ikut menampar keras sisi bagian lembut Niko. Seharusnya sejak lama mereka kembali berteman agar tidak ada gengsi untuk saling menunjukkan peduli. Jika begini, Niko bahkan tidak dapat memberikan semangat untuk Araz. Sementara menyemangati Rion dengan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tentulah bukan pilihan bagus karena kalimat tersebut hanya terdengar seperti bualan konyol.
"Rion." Kali ini Rion menoleh sebab bundanya memanggil. Sayangnya, tatapan Rion dingin. Seakan tengah menunjukkan ketidak-terimaan terhadap pilihan yang bundanya ambil. Setidaknya, alasan Rion untuk menolak dilakukannya operasi lebih dapat diterima dengan logika.
Apabila waktu Araz hanya tertinggal satu jam lagi, maka dibanding melakukan operasi, lebih baik menjadikan waktu satu jam tersebut sebagai obrolan terindah mereka bersama Araz. Membiarkan gadis kecil itu mengungkapkan segala rasa di hatinya. Dan bila seperti ini, waktu satu jam tersebut hanya akan dihabiskan di meja operasi dan Araz bisa saja pergi dalam rasa sakit tak terhingga. Dimana seharusnya seluruh keluarga menemani detik-detik terakhir gadis kecil tersebut.
Namun sang bunda tetap pada pilihannya sebab wanita itu yakin pada keajaiban Tuhan. Meja operasi tersebut akan menjadi tempat dimana Araz menjemput kembali kesembuhannya walaupun kemungkinan untuk berhasil tidak mencapai angka lima persen. Bundanya tetap percaya.
"Inikan yang Bunda mau?" tanya Rion lirih. "Tapi Rion nggak sekuat ini, Bun, Rion nggak sanggup nungguin Araz di sini kayak orang bodoh. Kita liat segimana kuatnya angka tiga persen itu sampai-sampai Bunda bisa mikir kalau ada keajaiban di ruang operasi Araz."
"Rion!" teriak bundanya tidak terima. Sedang Ceisar dan Niko sudah mengambil posisi untuk mengamankan lelaki dengan emosi tidak stabil tersebut.
"Ini yang Bunda mau, Bun!" Rion menegaskan suaranya. "Padahal Bunda sendiri tau, nggak cuma Rion, bahkan Araz sendiripun nggak pengen dioperasi. Araz udah nggak kuat, Bun. Awalnya Rion penasaran, mau sampai kapan Bunda biarin badan Araz dicucuk sama jarum-jarum itu. Tapi akhirnya Rion ngerti, kalau Bunda nggak bakalan pernah berhenti sampai badan Araz dirobek sendiri sama pisau operasi. Seharusnya Bunda sendiri tau, kalau umur manusia nggak bakalan bisa dicegah pakai cara apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Banana Cold Pudding [SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil📝 [SEBAGIAN BAB SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN!] Judith Aluna al-Vadric, sosok gadis manis yang cinta mati sama pudding dingin dan pisang manis. Mengira kalau masa putih abu-abunya akan berjalan persis seperti skenario buatannya, karena...