Aku menatapnya lucu. Pria yang tengah duduk di bangku pertama baris pertama yang sedang sibuk membolak-balikkan lembaran kertas bukunya. Ekspresi seriusnya yang terkadang menjadi satu keunikkan baginya, namun hal yang selalu aku sukai dari dirinya. Dengan melihatnya, aku menemukan sosok orang lain. Sosok orang yang sangat aku rindukan. Sahabat kecilku semasa aku duduk di sekolah dasar.
Dan inilah alasan kenapa aku selalu menatapnya secara diam-diam jika aku tanpa sengaja bertemu dengannya di Kantin. Aku seperti mengenal pria itu tapi mengenal bukan dalam artian yang sebenarnya.
Aku tak tahu bagaimana cerita lengkapnya aku bisa mengenal dia, tapi aku sempat bersyukur pada Tuhan karena setidaknya dalam dirinya ada sosok –yang berbeda dari orang yang ku maksud- sahabat masa kecilku itu. Namanya Arief Iftah. Sebenarnya nama aslinya adalah Muhammad Arief Maulana Hutagalung a.k.a MAMH. Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya. Dia teman sekolahku. Kami seangkatan dan dia anak XI-IPA 7.
“Arief Iftah?” tanya Mona dengan polos. Tangannya dengan cepat menarik kertas double polio yang sedang ku coret-coret dengan pulpen kesayanganku. “Kau dan dia?”
“Ah, kau juga mencurigaiku?” tanyaku kesal. Sudah ribuan kali aku mendengar pertanyaan bodoh itu. Dan untuk kesekian kalinya aku akan menjawabnya dengan jawaban masuk akal yang tidak akan menemukan sebuah keganjalan. “Mom, aku dan dia hanya sebatas teman. Kami memiliki hobby yang sama, kami sama-sama menyukai tulisan. Dan kami dekat juga karena hal itu.”
“Kau yakin?”
“Tentu,” jawabku enteng. Aku kembali meraih kertas panjang itu dan melipatnya cepat. Entah apa yang akan di katakan selanjutnya aku tidak akan memperdulikannya.
“Bagaimana jika ku bilang, kau menyukainya?” ucap Mona menggodaku. Aku menatapnya heran. Aku? Aku menyukai Arief? Oh, Mom. Apa yang sedang ada di pikirannya? Aku sudah menjelaskan semuanya.
“Oh, ok. Apapun yang sedang terjadi di antara kalian, aku tidak akan memperdulikannya,”
Begitulah. Hal yang menyebalkan memang, tapi sikapku yang dingin dan cuek kadang mampu merendam berita-berita tak jelas itu. Aku tak memungkiri kalau saja aku dekat dengannya. Tapi bisa di ralat, kami dekat karena kami menyukai tulisan. Adakah orang yang mempercayai kami? Bahkan kalaupun kalian tidak mempercayainya, aku tidak akan peduli pandangan orang lain terhadap kami. Kecuali jika dia sendiri yang akan membicarakan hal membosankan itu padaku.
“Kau tahu, semenjak aku sering berkunjung ke kelasmu, kita jadi bahan gossip di kelasku,” ucapnya saat aku sedang duduk santai di bawah anak tangga di dekat kelasku. Aku menatap kertas panjang yang baru saja ku terima dari dirinya.
“Lalu kenapa? Kau merasa risih dengan hal itu? Aku juga mendengar kabar murahan yang sama sekali merusak mood-ku setiap harinya. Dan jika memang kau merasa risih, kau bisa menjauhiku,” jawabku tersenyum kecewa
***
“Gossip murahan yang benar-benar murahan,” komentar Bima saat aku sudah selesai menceritakan hal yang terjadi dalam seminggu ini. “Memangnya kenapa kalaupun dia mempunyai hubungan khusus denganmu? Mereka iri?”
“Entahlah! Aku hanya tak enak diri pada dia. Mungkin dia merasa risih dengan gossip murahan yang tiap hari dia dengar,” jawabku acuh. Bima adalah sahabat terdekatku di kelas, walau aku memiliki keempat sahabat lainnya, tapi hanya Bima-lah, orang yang benar-benar ku anggap sebagai sahabat. Dia seperti abang, musuh, teman, sahabat, bahkan soulmate terbaikku. Dan jujur, hanya karena kedekatan kami, hal ini sempat menjadi gossip murahan juga. Hidupku benar-benar penuh dengan gossip tak bermutu.
“Sudahlah. Untuk apa kau memikirkannya? Bukannya dia masih memilih untuk berteman denganmu?”
“Terserahlah. Aku selalu pasrah dengan keadaan,”
Aku terdiam sendiri. Manik mataku menatap tulisan tangan Arief yang masih dengan setia terbuka lebar di hadapanku. Bima sedikit melirik lalu menghiraukanku. Saat ini aku hanya bingung. Apa yang harus ku lakukan?