Aku mendapati Arief sedang berdiri santai di depan kantor guru sambil menyandang tas Ransel berwarna hitam. Pria itu tersenyum lalu menjulurkan sebuah kertas yang dapat ku yakini adalah surat dari dirinya. Kami memiliki waktu berbicara yang singkat bahkan terkadang kami hanya tersenyum satu sama lain.
“Hari kamis, apa kau ada acara?” tanyaku menghentikan langkah kakinya. Dia menatapku heran. Mungkin, ini pertama kalinya aku berbicara tentang hal lain yang tidak ada hubungannya dengan menulis.
“Minggu depan? Sepertinya kosong. Memangnya kenapa?”
“Mau makan?”
“Kemana? Dan sama siapa?”
“Belum tahu. Yang pastinya Bima ikut. Nanti ku kabari kalau kami sudah memutuskan waktu dan tempatnya,”
“Ok.”
***
Aku menatap Bima hirau. Baru saja aku merasa tenang setelah seharian di usik oleh teriak menyedihkan dari Mona, dan kini apa lagi? Kenapa rasanya sulit untuk bisa mendapatkan ketenanganku seperti biasa?
“Kau harus mendengarnya, Bel,” paksa Bima mengambil alih bangku kosong di hadapanku. Aku menghela nafas panjang dan meletakkan novel tebal yang baru kemarin ku pegang. “Sepertinya ada kesalahpahaman yang terjadi di antara kalian,”
Salah paham? Apa?
Aku menatapnya bingung lalu menarik ponselku. Peduli apa aku? Salahpaham seperti apa?
“Dia mengira kau menyukainya,” aku menatapnya hirau. Aku sudah lebih mengetahuinya terlebih dahulu, lalu apa masalahnya? “Jadi kau benar-benar menyukainya?”
Aku tercenung. Hey, bisakah kau mempercayaiku? Bukannya selama ini kau selalu tahu tentang aku? Dan Arief?
“Mas, aku masih suka sama Oxcel, dan kau tahu itu. Lagipula, sudah ku bilangkan kalau dia juga masih menganggumi Febri, walau dia tak pernah jujur,” ujarku menyerah dan mengalihkan pandanganku menatap Bima. Wajahnya tampak serius. Sepertinya memang ada masalah-masalah yang terjadi secara serius sekarang.
Aku menarik tangannya menuju pojok ruangan kelasku dan mendudukannya di bangku kelasku lalu menghadapnya dan mencoba tenang. Aku tahu, kalau beberapa manik mata sedang menatap kami curiga dan akan semakin curiga kalau aku tak menariknya ke tempat yang aman ini.
“Kau mengajaknya makan?” tanya Bima yang ku jawab dengan anggukan polos. “Berdua?”
“Ha?” tanyaku terkejut. “Mas, seumur hidup aku tak pernah mengajak seorang cowok makan cuman berdua. Yang benar saja,” bantahku kesal. Kenyataannya aku memang masih polos. Tak pernah sejarahnya aku terlihat bersama dengan pria. Apalagi berdua. “Memangnya apa yang terjadi?”
“Kau kenal Winda? Teman sekelas Arief,”
Aku memikirkan nama itu. Namun aku menggeleng. Tidak. Aku tak mengenalnya. Memangnya dia siapa? Pacar Arief?
“Lupakan. Kayaknya Arief salah paham sama ajakanmu. Dia pikir, dia mau di ajak ke acara makan-makan kelas, dan di kenalkan sebagai ‘PACAR’-mu,” jelas Bima sambil menyerahkan ponselnya dan menunjukkan chatnya dengan Arief. Apa? Berarti memang ada salah paham. Tapi ya sudahlah.
“Lalu?”
Bima tercenung. Apa yang salah dengan responku? Kenapa? Apanya yang mengherankan?
“Kau... Ah, bodoh!” ujarnya sambil memukul kepalaku keras. Aku meringis kesakitan. “Memang kalau ngomong sama kepala batu, ya kayak ini nih. Ini masalah besar loh, Bel,”
“Besar apanya sih Bim? Ya udah, kalau Arief mikirnya gitu, nggak usah kita undang lagi. Lagian aku juga nggak jadi niat. Oxcel aja nggak ku undang, apalagi dia,” ujarku acuh sambil tetap mengelus kepalaku
“Nggak semudah itu dong. Ini namanya kau di permalukan. Semacam kau mencintai dia gitu,”
“Dulu aku pernah mengaguminya, Bimong. Ya, karena dia mirip dengan Dedy. You know that,”
“Yeah, I know, but...,”
“Terserah orang mau mikir apa Bim, selagi aku tak merasa di ganggu dengan hal itu, dan mereka tak membuatku frustasi, kenapa aku harus memperdulikan mereka?” jelasku lalu berlalu dan duduk di bangku kesayanganku