How We Met Part 2

1 0 0
                                    

Aku lupa belum memperkenalkan diri, namaku Glaidra. Kelas 2 SMA, Tinggal di desa, serta ingin kuliah di kota. Saat ini aku tengah berada di kandang macan, ya benar sekali, sekolah. Gedung menjulang tinggi namun lebar layaknya kereta api. Dengan beberapa sel penjara dan manusia dengan setengah jiwa hewan.

Saat ini aku tengah berolahraga, yaitu basket. Salah satu olahraga yang ditunggu-tunggu, dipuja, dinantikan tiap momennya oleh lelaki mata keranjang. Meskipun aku masuk dalam ekstrakurikuler basket, aku tetap membenci pandangan rendah kaum lelaki yang telah kehilangan akal sehat nya, yang tengah melihat buah dada bergelayutan. Aku tahu naluri mereka kuat, tidak seperti kami para wanita namun, itu yang membuat mereka layak disebut hewan. Namun bukan berarti aku membenci mereka lho...

"Hei, lihat Glaidra main lho!"

"Mana? Mana? "

"Jangan dorong-dorong dong!"

Aku benci hal ini.

"Glaidra, mereka melihatmu lagi," gadis berkucir dua disampingku menepuk pundakku pelan lalu menunjuk kebelakang, arah para idiot itu bergerumul seperti lalat. "Yah, aku tidak peduli," aku melanjutkan permainan tanpa melirik para idiot itu.

"Glaidra Ace dibasket putri bukan?"

"Iya! Kau tau!? Bukan hanya olahraga, semua bidang ia kuasai tak ada hambatan!"

"Hebat!"

"Rumornya dia tidak pernah punya pacar dan tak ingin,"

Seketika telingaku panas mendengarnya. Bukannya tidak mau! Aku ini pemilih, aku hanya mau laki-laki yang bisa mengalahkanku, baik itu akademik atau bukan. Obrolan para gadis memang menyeramkan, 180 derajat berbalik arah dengan kenyataan.

Mulut mereka yang tajam mengiris hati, juga bisa digunakan sebagai pengasah pisau lain. Dalam hal ini, seisi sekolah... tidak bahkan seluruh dunia bisa mengalami kebakaran jenggot. Hebat bukan? Karna dari itu kepribadian jadi nomor satu. Drama merajalela, topeng-topeng terpampang dimana-mana, bahkan ada babu gadungan. Benar-benar neraka.

Jika pandai kamuflase layaknya bunglon, semua akan selamat. Jika kau hanya memakai satu topeng, maka jatuhlah kedalam jurang tanpa henti. Setelah itu penyesalan datang terakhir. Mengikuti seseorang adalah hal yang bodoh apalagi jika orang itu menyesatkan, sambil membawa kata 'kebersamaan'.

Sayangnya aku juga temasuk dalam drama bertopeng kehidupan sekolah, namun aku tidak mengikuti jurang kematian, aku mengikuti arus angin. Hilir mudik, silih berganti.

Meskipun didalam maupun luar ruangan olahraga satu ini membuat banyak keringat, yah cukup untuk program diet bagi yang mau melakukan. Tapi karna ini olahraga, aku bergantian dengan temanku yang lain. Aku duduk di podium kedua dari atas. Meraih tasku dan mengambil botol minum biru berisi air segar. Rasa air itu tidak ada, memang air tidak ada rasanya. Yang kumaksudkan ialah saat kalian dahaga menegak air pun tak akan terasa pada lidah, lidah menjadi kelu, tenggorokan menganga sangat besar, lalu mengalir tanpa bisa dirasakan. Tahu-tahu perut kita kembung dengan air.

Saat selesai menuang air dalam perut, temanku menghampiriku. "Hai Glaidra, kerja bagus! Kamu selalu hebat dalam basket," ucapnya sembari duduk disampingku. "Entahlah mungkin beruntung," ucapku acuh dan meminum lagi minumanku. "Jangan begitu dong! Eh lihat deh Geraldo, dia juga jago main basket ya!" terdengar suara tawa kecil darinya. Ada yang sedang jatuh hati. Ini menyusahkan.

"Iya, ya... Geraldo sangat hebat! karna dia, basket kita jadi maju, terlebih lagi dia ketua tim basket dan nilai akademiknya juga lumayan bagus! Hebat ya, wajah tampannya tak sia-sia.... begitu kan yang ingin kau katakan?" ucapku dengan nada ala fangirl dan aku yakin sebentar lagi dia akan minta nomor dan email Geraldo padaku. "A-ah! Glaidra malu tahu! Kau dekat kan dengannya? Boleh minta nomornya atau emailnya? Ah maaf sudah merepotkanmu!"

Benar bukan?

Semua perempuan mendekatiku karna lelaki itu, aku heran apa bagusnya darinya? Kalian hanya melihat material fisiknya, bagaimana sifat dan kebiasaannya? Jika tau keburukannya apa kalian akan memakluminya? Itulah yang ingin kuteriakkan. Namun, pada akhirnya akulah pengecutnya. Aku tak bisa mengungkapkan pendapat ini pada mereka dan selalu berakhir pada memberikan mereka email atau nomornya.

"Nanti akan ku kirim,"

"Wah, terimakasih Glaidra! Tapi dilihat dari segi manapun Geraldo seperti matahari dan Noir seperti bulan,"

"Noir?"

"Heh!? Glaidra kau tidak tahu!? Ada anak pindahan 1 minggu lalu dan dia mulai masuk klub basket juga,"

Anak baru? Benar juga, seminggu lalu aku absen tidak datang ke klub karna mengurus laporan praktikum menyebalkan tulis tangan itu. "Tidak tahu... aku menyusun laporan selama seminggu, kelas berapa?" tanyaku tidak niat sambil mencari handuk ditasku. "Dia satu tahun diatas kita lho...," dengan nada mengejek temanku menyenggol ku dengan sikutnya. "Aku tidak tertarik,"

"Awas!!"

Tiba-tiba bola melayang kearah temanku, Aku sontak berdiri kemudian maju kedepan temanku menangkap bola itu.

"Apa itu tadi..... Glaidra kamu....! Kau tidak apa-apa?!" ujar temanku itu.

"........Yah, hanya ini bola toh tak usah dipikirkan, oi! Geraldo bodoh!"

Tentu saja aku bohong.

Lemparan itu sangat keras, tanganku sakit.

Tapi kubiarkan saja kemudian melempar bola itu pada Geraldo. Kurasa tangan mungil ini dalam beberapa hari akan menjadi memar. Aku harus memperbannya. "Hah... apa apaan, Omonganmu itu lho, lari 5x putaran saat basket ya!" ucap Geraldo dan setelah itu permainan mereka berlanjut. "Glaidra benar tak apa? kelihatannya sakit..." matanya menunjukkan air mata namun senyumnya nyinyir.

Air mata buaya dengan senyum serigala cocok sekali dengan kehidupan ini. "hmm, sekarang giliranmu main pergi sana ke lapangan nanti pak Egison marah," ucapku menepuk pundaknya. Dia mengangguk dan segera pergi ke lapangan. Senyum dan air mata itu hal biasa, hal ini mengingatkanku pada permainan basket kecil dengan Geraldo. Nostalgia lagi.... kapan mimpi buruk ini berakhir?












~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Author usaha in akan post 2x seminggu happy reading...

Midnight VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang