“Okay Radit, kamu bisa duduk di pojok belakang. Nindya ? kamu duduk sama Radit ya.. bantu dia untuk menyesuaikan diri di kelas ini” ujar Mr. Kyle menyadarkan Nindya dan Radit dari adegan saling tatap.
“O.. Okay sir..” Nindya mendengus, baru kali ini ia menyesal duduk sendiri.
Sementara Radit hanya senyum, seringai lebih tepatnya, mendengar dia akan duduk dengan Nindya “haha.. pucuk dicinta, ulam pun tiba. Untung banget Re, kita satu bangku ! haha..” pikiran kejam sudah muncul di otak Radit.
“nasib gue bakalan sakit deh kayaknya, abis nih..” Nindya hanya menggerutu dalam hati.
Radit melangkah pelan meninggalkan depan kelas menuju bangku kosong disamping Nindya. Nindya hanya melirik sekilas pada Radit saat dia duduk.
“Halo Re, lama nggak ketemu..” sapa Radit kemudian.
“Nggak usah sok baik sama gue, kita ini musuh ya” jawab Nindya tanpa mengalihkan perhatiaannya kepada Radit.
Radit hanya tersenyum menanggapi kata-kata Nindya. “Musuh? Tapi lo tentu masih inget kan apa yang dulu gue janjikan ke elo?”
Nindya berjengit mendengar kata-kata Radit. Dia menoleh, menghadapkan kepalanya menatap Radit yang masih tersenyum, senyum sinis. “Oh ya? Emang lo janji apa ke gue? Gue nggak inget tuh?”
“Bentar lagi juga lo pasti inget” Radit lalu mengalihkan pandangannya ke depan kelas karena pelajaran sudah akan dimulai.
“Gue inget kok, tapi lebih baik kalo seandainya gue nggak inget aja. Malesin banget ngingetnya.”
#Flashback
“Heh ! Anak kecil !” panggil seorang anak laki-laki kepada seorang anak perempuan yang sedang asyik membaca bukunya..
“Issh.. Heh anak kecil ! aku tuh manggil kamu dari tadi !” ia lalu menarik buku yang sedang dibaca oleh Rere, ya nama anak perempuan itu rere.
“Apaan sih kamu ? aku itu lagi baca, lagi seru tau ceritanya ! Balikin buku aku !” Rere mencoba mengambil bukunya kembali, tapi anak laki-laki tadi mengangkat buku itu hingga berjinjit sehingga Rere tidak bisa menggapainya.
“Buku apa sih yang kamu baca ? sampai dipanggil aja nggak denger?” Didit, anak laki-laki itu mencoba membaca buku itu. “Alaaaah.. buku cengeng aja dibaca !”
“Buku cengeng apa?! Itu buku dongeng tau ! dasar nggak bisa baca !”
“iya buku dongeng, buku dongeng yang cengeng. Jadi yang baca juga cengeng. Rere cengeng.. Rere cengeng..” didit terus mengolok Rere.
Rere yang merasa tak terima dibilang cengeng oleh Radit perlahan-lahan mulai menangis. Radit yang melihat Rere sudah akan menangis justru semakin semangat mengoloknya.
“tuh kan… kamu itu emang cengeng, makanya gampang banget nangis”
“aku nggak cengeng !” Rere berusaha menghentikan tangisnya, namun tangisannya justru semakin kencang.
“oke, aku bakal percaya kamu nggak cengeng kalo kamu nantinya mau jadi putri buat aku, kayak yang ada di dongeng ini. Gimana ?”
“aku nggak mau! Putri itu harusnya sama pangeran, pangeran yang baik, tampan, gagah dan berani. Aku nggak mau sama kamu !”
“yaudah, buku ini nggak bakal aku balikin dan kamu memang cengeng!”
“aku nggak cengeng didiiiit !!! balikin buku aku !”
“nggak mau, kecuali kamu mau jadi putri aku !”
“aku nggak mau!”
“yaudah, tapi kamu tetep bakal jadi putri aku nantinya. Lihat aja!” Didit lalu pergi membawa buku dongeng milik Rere, meninggalkan Rere yang masih menangis tersedu-sedu melihat buku dongengnya dibawa pergi.
“aku benci didit ! aku nggak akan mau jadi putri buat didit! Aku benci didit!” sejak itu, Rere menganggap Didit sebagai musuh terbesarnya. Sampai Didit pindah ke London pun, Rere tetap menganggap Didit sebagai musuhnya. Sekali musuh tetap musuh.
#Flash Back end
KAMU SEDANG MEMBACA
Not With Me
Teen Fictionaku percaya, langit dan bumi itu tercipta untuk terpisah. tapi kau tidak percaya padaku..