Untuk event Hinata sweetest december
Pair naruhina
©Masashi kishimoto
.
.
.Aku menyandarkan punggungku di samping jendela, melabuhkan kelelahan di bawah langit agung, menatap debu-debu yang tampak berkilauan di mataku. Aku baru menyadari keindahannya sekitar semingguan ini, saat cahaya keemasan datang dan pergi tanpa permisi. Satu harapan telah menjauh, luluh lantak, hingga hidupku seolah jatuh, kemudian mati. Kamar berdinding krem kusam ini menyaksikan ketidakberdayaanku.
Sosok itu pun terlihat, pemuda sengsara, seseorang yang punya tatapan rapuh dari iris birunya. Bayangannya menyeruak dari partikel debu. Tapi aku tahu bahwa aku hanya tersungkur pada masalalu.
Aku masih berusia dua belas tahun saat bertemu pemuda sengsara, di sebuah taman sepi, kala itu aku sedang bermain ayunan tua. Pemuda sengsara mengenakan sehelai kaos orange polos, dipadu dengan celana katun abu-abu. Potongan rambut menanjak gravitasinya tak mampu membuatku takut, dia membawa senyum yang tak pernah kutemukan sepanjang hidupku.
Perkenalan bukanlah hal yang kusukai. Karena aku tidak terbiasa dengan hal itu, orang-orang akan melontarkan pertanyaan tentang mengapa aku tidak pernah sekolah, lalu akhirnya berujung pada status ilegalku. Ketika aku berbicara jujur, ejekan pun bersusulan lalu aku tertunduk, merasakan aliran hangat pada pipiku. Ejekan mereka bukan suatu hal yang baru, tapi selalu bisa membuatku terkoyak.
Pemuda sengsara itu berbeda. Dia tidak mengejekku, awal perkenalan kami dimulai dengan pertanyaan kenapa aku bermain sendirian. Aku bilang bahwa aku tak punya teman, tidak seorang pun, ibuku buruh pabrik, ayahku bekerja sebagai kuli. Kakakku laki-lakiku bukan pilihan yang tepat. Keluargaku hanya pendatang dari negara yang jauh, sejauh bulan. Banyak cerita kemudian yang berjatuhan tanpa kusadari, layaknya hujan-hujan merah yang rasanya seperti besi karat. Pemuda sengsara menahan tali ayunan, kemudian dia berjongkok di hadapanku, aku mengingat aroma pemuda sengsara; bau keringat, bau baju lusuhnya, pemuda sengsara kemudian basah oleh hujan-hujan merahnya sendiri. Karena kisah-kisah kami tidak jauh berbeda. Tapi, dia tak mau terpuruk, lalu dia mengajakku bermain ayunan lagi. Pemuda sengsara mendorong sampai aku terlambung tinggi-tinggi. Teriakan senang memayungi suasana. Hal yang sama terjadi. Esok. Lusa. Dan itu adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui kami berdua.
Senja akan selalu menjadi pecemburu buta, pertemuan akan berakhir, aku akan pulang ke sebuah apartemen kumuh dipinggir kota. Ayah mencari apartement yang paling murah, karena Ayah harus mengumpulkan uang untuk menyogok petugas imigrasi demi mendapatkan status legal di negara super maju ini. Seringkali, aku melihat Ayah pulang dan pergi dengan wajah tergores, lama-lama rupa kebangsawanan Ayah akan berganti gembel dan itu tampak membebankannya. Impian Ayah untuk menaikkan taraf hidup kami rasanya seperti berbicara di dalam air; mustahil. Aku mencegah keresahanku mengenai masa depan dengan berusaha menjadi orang paling memahami.
Dulu aku pernah punya keyakinan bahwa aku hanya akan hidup menjadi manusia busuk yang bertahan di sini. Karena jiwaku telah lebih dulu retak, dan berkecai. Kakakku telah merenggut mahkotaku sebelum aku bisa mengingat berapa usiaku saat itu. Lalu aku merasa pedih dan berharap dunia bisa mendengar, tapi aku tak pernah bisa meneriakkannya, tahu-tahu saja aku menjadi manusia tanpa ruh. Hampa. Sikap pilih kasih Ayah dan Ibu membuat semuanya semakin ruwet. Aku menjauh sebisaku, kuinjak-injak ia dalam tumpukan memori sampai aku nyaris mati lemas, supaya aku lupa.
Suatu hari, keyakinanku patah. Pemuda sengsara yang mematahkannya, saat itu aku telah berusia enam belas tahun dan dia berusia dua puluh. Pertemuan kami tidak lagi di batas garis ayunan dan taman. Dia mengajakku sebuah surga yang ia petik dari langit. Aku tertegun oleh kesungguhannya. Seakan-akan dia hendak menunjukkan padaku bahwa aku adalah orang yang istimewa. Hari itu dia mengenakan pakaian baru yang terbuat dari kesabaran dan ketekunan, dia memangkas rambut pirangnya dengan potongan cepak yang menawan. Aku baru tersadar bahwa dia bukan lagi pemuda sengsara. Aku bisa melihat matanya berbinar senang dan senyumnya yang menawan. Sejenak kemudian dia menjelma menjadi pemuda manis. Ya. Dia telah berubah. Dia kemudian menghadiahiku sebuah kado berupa mahkota bertahtakan mutiara. Aku bertanya-tanya maksud perlakuannya saat itu, karena dia telah menerjunkanku pada perasaan yang semula kuanggap mustahil. Dia segera berbisik.

KAMU SEDANG MEMBACA
The taste of insanity
Fanfictionketika aku menyadari bahwa kegilaan ini terasa sangat manis Untuk event Hinata sweetest december Naruhina Genre:hurt/comfort/surrealisme (Terinspirasi dari fanfic 'menikahi sunyi' by Kenzeira and some based on a true story) Cover kudapat dari zeroch...