Takdir

18 3 0
                                    

Cerita ini teruntuk anak cucuku suatu saat nanti, ketika suatu saat telah datang dan kalian tengah membaca ini kuharap kalian tersenyum karenanya.

Diatas gedung sekolah yang terbuka terlihat dua orang remaja, seorang lelaki dan seorang lainnya perempuan yang sama sama mengenakan  baju seragam berjas hitam berlogo zirrah dan dua pedang menyilang diatasnya serta tulisan melingkar "Seoul Bravery High School" terjahit rapi didada sebelah kanan.

Keduanya terdiam dan setelah beberapa menit akhirnya si perempuan membuka mulutnya.

"Daehan, Bukankah kau berteman dengan banyak orang ?"

"Lalu ?"

"Bisakah ...kit"

"Tidak ! maaf, permisi aku harus pergi"

"Mengapa, kau tak mau berteman denganku ?"

"Kau menjijikkan, kau hanya kutu buku jelek, menyingkirlah ! Jika kau memintaku kemari hanya karena ini kau membuang buang waktuku" ia menaikkan alisnya sambil setengah tersenyum. Tangannya dimasukkan ke kedua saku celananya. Beberapa detik kemudian kedua sepatu si lelaki melangkah menjauh meninggalkan si perempuan yang mematung dengan bersimbah air mata. Suara tertawa keras terdengar dari balik pintu, lengkap dengan cacian mereka yang tak pernah jenuh mereka teriakkan pada si gadis lemah.

-----------

*the girl as me

Perlahan salju jatuh menyentuh kulit tanganku, lututku yang bergetar tak kuat lagi menahan tubuh lemah ini, makhluk buruk ini terjatuh diatas permukaan kasar lapisan semen atap gedung. Lutut yang tak tertutup kain rok terluka, tapi aku tak sedikitpun merasakan sakit, gumpalan darah dalam diriku ini jauh lebih sakit.

Dua tulang bagai tiang berusaha menyangga berat diri yang merapuh, bendung embun pecah di balik lipatan kerut mata ini. "Apa aku seburuk itu ? Kenapa aku diperlakukan seperti ini ? Bukankah lebih indah jika aku mati saja ? Ya tuhan aku benci diriku sendiri ? Aku benci disini ! Tolong bawa aku pergi dari sini !"

Drrrrtt drrrrttt drrrtt

Sesuatu bergetar dipunggungku, sebenarnya aku tak berniat membukanya, aku tak peduli. Tapi tiba tiba aku menyadari sesuatu,  benda itu bergetar berkali kali sejak aku duduk menunggu lelaki itu keluar dari ruang latihannya. Mungkin karena mata bodoh ini terlalu sibuk dengan wajah terkutuknya, membuatku tak sadar berapa kali ponsel ini bergetar, dan memilih mengabaikannya.

Sambil mengusap air mata, ku buka resleting tua setengah lingkaran yang terjahit menempel di tas hitam pemberian nenek. Didalam benda persegi itu kudapati 13 panggilan tak terjawab dari ibu, 5 panggilan dari ayah, dan 7 pesan dari kakak.

Dengan suara bergetar begini, kupikir akan lebih baik jika aku cukup mengirim pesan. Beberapa titik salju menutupi layar handphone menghalangi pandanganku, jemari yang kugerakkan untuk membersihkan salju tak sengaja membuka salah satu pesan dari kakak yang berisikan.

From : Mak lampir

"Hei ! Jawab pesanku !! Kau dimAna ? Nenek sedang kritis ! Datanglah di RS.CHEONG SHIN sEKARANG!!"

Tanganku serasa tak lagi bertulang dan ponselku terlepas darinya, jantungku berpacu hebat hingga mengguncang tubuhku, kelopak mataku membuka lebar. "Apa apaan ini ?"

Tanganku meraba raba salju yang menebal, mencari cari ponselku dan memasukkannya kembali kedalam tasku, sambil berlari menuruni beberapa anak tangga.

Sesampainya didepan besi persegi besar berwana silver kukuatkan jemariku untuk menekan tombol dengan tulisan angka 1 berwana merah menyala. Begitu besi ini membelah menjadi dua, aku berlari sekuat tenaga, suara sepatuku berdentam diatas lantai, menggema menguasai gedung.

Diujung jalan, didepan halte kulihat sebuah bis menaikkan seorang penumpang terakhirnya, lantas ku berteriak untuk tak meninggalkanku "Ahjussi !!!!!"

Beruntung bis ini mencium kedatanganku. Begitu aku masuk kedalamnya, seperti biasa aku duduk dikursi kosong disamping jendela.

Peluh keringatku meliuk liuk hingga bertemu air di pangkal mataku, aku tak berniat membersihkannya ataupun menghentikannya. Selama roda bis ini berputar aku tak berhenti berdoa pada tuhan, agar tak memerintah malaikatnya membawa pergi satu satunya nenekku, satu satunya orang yang  membuatku bertahan hingga saat ini.

Bis berhenti dan sebuah dorongan membuatku terdorong kedepan alhasil dahiku menyerobot pundak seorang penumpang didepanku. Aku berdiri dan membungkuk 90° dihadapannya.

"mianhae, ahjussi" kataku pelan padanya, lantas kubalikkan badanku dan menempelkan kartuku di alat pembayaran, setelah beberapa detik aku keluar dari bis, kaki ini mulai berlari menjauh dari halte menuju rumah sakit yang berdiri tak jauh didekat pertigaan di kanan jalan.

Rumah sakit yang luas dan tinggi menjulang ini memampangkan tulisan hangul membentuk nama dari rumah sakit. Ketika kulihat kedua kakiku mulai memasukinya, sekelebat tangan menyambar tanganku dan menyeretku mengikutinya, yang kulihat hanya punggung berlapis jaket coklat yang tak asing lagi dimataku.

Setelah beberapa detik kurasa, kami sampai didepan pintu sebuah ruangan. Aku mendorong pintu dan aroma cairan infus menyambut lubang hidungku. Kulihat ibu dan kakakku sedang memeluk seseorang yang terbaring diatas ranjang dorong. Aku tak sanggup melihat lebih dekat, jikalau yang kulihat ini nanti adalah orang tak bernyawa.

"Ohh cucuku,  kau sudah pulang.." kulihat sebuah kepala berambut putih menyembul mendongak dari balik dua kepala yang menghalangi pandangan beliau, akhirnya membuat dua kepala yang lain beranjak dari tempatnya.

Seketika aku memeluk nenek dan menangis diatas tubuh beliau. Nenek melihatku dan menepuk pelan pundakku, ketika aku mendekat pada beliau, beliau mencium keningku dan menyibakkan helaian rambut poniku sambil berkata "aku tak ingin punya cucu yang lemah, aku ingin kau kuat menjalani hidupmu, menggapai tujuanmu dan menggenggam kebahagiaan ditanganmu, berjanjilah padaku setiap kau gagal, setiap kau sedih, kau akan tersenyum dan bangkit lagi diatas kakimu sendiri, ingatlah bahwa sebuah luka itu sangat berharga." Karena aku masih terlalu bodoh untuk memahami semua ini aku menatap mata coklat nenek dan kulihat beliau tersenyum simpul lalu menutup matanya.

"Halmonie ! Halmoniee !!" Teriakku sambil menggoyangkanku tubuhnya. Jantungku seperti mau lepas, dan air mataku makin membabi buta. Namun tiba tiba senyum beliau mengembang meski matanya tertutup.

"Aku tidak mati ! cengeng, aku ini abadi, aku hanya mengantuk,  menyingkirlah, bersihkan ingusmu ! Dasar jorok..." mendengar suara beliau membuatku kesal sekaligus senang, aku merasa lebih tenang sekarang. Aku yang usil mulai mencari akal balas dendam pada beliau, dan membuat geli pada kaki pasti akan menyenangkan. Saat jari telunjukku menyentuh telapak kaki beliau, tak kulihat senyum sedikitpun diwajahnya, lalu beberapa jariku mulai menari di telapak kakinya, dingin menyentuh jemariku, lantas aku memegang kakinya, yang ternyata kesemuanya dingin hingga kusadari ada sesuatu yang ganjil.

-----------

Sebuah takdir yang kuhadapi adalah, hobby menulisku yang tak diimbangi dengan bakat, untuk siapapun yang membaca cerita kehidupan ini kuucapkan terimakasih banyak. Aku tak mengharapkan banyak dari kalian. Celotehan ini mengharap, lebih kepada anak cucuku suatu saat nanti, sekian.

SBHS (SEOUL BULLYING HIGH SCHOOL )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang