Gadis berambut pirang itu berjalan riang. Bibir mungilnya tak henti-henti bersenandung senang. Setidaknya, pergi ke pasar lebih menyenangkan ketimbang terus menjadi babu di rumahnya sendiri. Walaupun itu hanya sebentar.
Camellia mengulum senyum, menatap kristal di depannya yang berkilat indah. Tangan kanannya medekap sekantung penuh belanjaan dari pasar. Gadis berambut pirang itu selalu membawa kristalnya, ia merasa tenang dengan kristal itu. Walaupun ia tahu jika itu bukan miliknya.
Sebenarnya, ia masih bimbang. Apakah Varen dan Veren melihatnya bersama Fendra? Jika iya, Camellia tak kebingungan. Ia sudah biasa menerima kenyataan bahwa kedua kakak tirinya memang serba tahu jika menyangkut urusan dengan Fendra dan dirinya, sekecil apapun itu. Bahkan, kedua kakaknya itu tahu jika Fendra sering memerhatikan Camellia dari kejauhan saat menapaki jalan setapak menuju pasar, dan tentu saja, Camellia tidak tahu itu jika kedua kakaknya tidak menyeretnya menuju hutan dan menyiksanya.
Sampai di rumahnya, gadis itu menghembuskan napas lega. Kaki mungilnya yang tak beralaskan apapun melangkah ringan menuju dapur. Tangannya cekatan menyiapkan alat memasak dan memotong sayuran segar.
Setelah selesai dengan urusan memasak, ia lanjutkan dengan membersihkan lantai. Ia sudah mencuci semua pakaian saat pagi buta. Yah, memang semua pekerjaan rumah hanya Camellia yang mengerjakan. Walau sulit, sekarang ini ia bisa menerima kematian ayahnya yang ia rasa tak wajar dan menjalani hidupnya dengan ikhlas.
Dan saat suara bel rumah menggema, Camellia melangkah cepat untuk membukakan pintu. Ia berpikir, mungkin salah satu dari teman ibunya.
"Selamat siang," Seorang pria paruh baya berpakaian rapi menyapa Camellia yang berpakaian lusuh.
"Se-selamat siang Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Camellia tersenyum canggung di ambang pintu.
"Apakah benar ini kediaman dari Tuan Romera?" Pria itu bertanya ramah penuh senyum.
"Iya," Camellia menjawab sembari mengangguk, ia mengulum senyum ramah. Dia siapa?
"Saya ingin membicarakan sesuatu dengan Anda." Lelaki itu mengangkat tasnya.
"Mari masuk Tuan. Biar saya buatkan teh hangat dulu. Silahkan duduk." Camellia membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan masuk orang asing yang ramah menurutnya.
Gadis itu kembali dengan secangkir teh hangat di tangan. Meletakkannya pada meja ruang tamu lantas mengambil duduk.
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Fransiscus. Saya adalah pengacara dari Tuan Roberto Romera." Lelaki itu tersenyum, menyerahkan kartu nama miliknya kepada Camellia.
"Liaaaa!" panggilan itu berasal dari kamar Margareth.
"Permisi Tuan. Saya ada urusan sebentar." Gadis itu mengulum senyum lantas berjalan tergopoh menghampiri ibu tirinya. Namun, belum juga ia sampai di kamar, Margareth sudah berjalan menuju ruang tamu. Camellia hanya menunduk, ia sama sekali tak berani menatap Margareth yang amat menakutkan baginya.
Wanita paruh baya itu berjalan menuju ruang tamu dengan dagu terangkat. Rambutnya yang ia gerai melambai indah.
"Ada masalah apa Anda datang kemari?" Margareth bertanya tanpa basa-basi, raut wajahnya datar tanpa ekspresi. "Dan kau Lia! Kenapa kau masih berdiri di sana? Selesaikan pekerjaanmu dan langsung ke kamar!" bentak wanita paruh baya itu kepada Camellia yang berdiri agak jauh di belakang Margareth.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Demon
Fantasía⚠⚠⚠ DON'T COPAS MY STORY!!! Camellia Romera Seorang gadis mungil yang selalu disiksa oleh ibu dan kedua saudari tirinya. Ibu kandung Camellia meninggal setelah melahirkannya, hingga kemudian Ayahnya menikah dengan seorang janda yang mempunyai dua an...