BAB 28

323 28 0
                                    


***

“Wah, ini lebih kacau daripada sebelumnya.” ucap Ani sebal melihat keadaan kamar mayat yang seperti diobrak-abrik maling kelas teri.

Sangat berantakkan, melebihi kapal pecah. Mayat yang sebagian besar sedang dalam masa pembusukan berserakan di lantai. Laci-laci penyimpanan mayat terbuka beberapa. Ranjang-ranjang besi tak beraturan posisinnya. Sedangkan perabotan lainnya seperti antiseptic tak kalah berantakkannya.

“Orang gila mana yang membuat kekacauan seperti ini!” pekik Dave  yang baru saja datang.

Angel menggeleng pelan. “Yang pasti orang yang tidak punya kerjaan.”

“Gila, benar-benar gila.”

Ani bertepuk tangan menginterupsi. “Baik, daripada kita terus merutuki orang gila itu, lebih baik sekarang kita bereskan kekacauan yang dia perbuat.”

“Tenang selama ada Dave.” Dave menggulung kemejanya asal-asalan. “Semua akan beres dalam sekejap.”

“Aku harap tidak berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada ini.” rutuk Ani sambil melewati Dave sambil menabrakkan bahunya keras-keras dengan sengaja.

“Sialan!” umpat Dave sambil memegangi bahunya.

“Sudah,” Angel mengusap dada Dave lembut. “Jangan melanjutkannya dengan bertengkar atau ini tidak akan selesai.”

Dave menarik kepala Angel lalu mengecup kening gadis itu cukup lama.

“Sudah pacarannya?” ujar Ani menginterupsi sambil berkacak pinggang. “Kalian mau tanganku ronto gara-gara mengurus ini sendirian.”

Dave meliriknya kesal.

“Dia lagi PMS.” bisik Angel. Menjelaskan kenapa Ani bersikap garang dan menyebalkan hari ini.

***

“Wahh,…” Dave menggeleng-gelengkan kepalanya melihat mayat yang terpanggang itu terkoyak dimana-mana. Seperti seseorang yang tidak ahli membedahnya asal-asalan.

Beberapa saat yang lalu mereka selesai membereskan kekacauan yang terjadi. Mayat-mayat, dan benda-benda yang sebelumnya berantakkan dimana-mana sudah berada pada tempatnya semula.

“Pakai maskermu.” Ani menaikkan masker Dave dibiarkannya menggantung di leher.

“Siapa yang berani melakukan hal senista ini?” tanya Dave sambil menaikan maskernya. Ia masih tidak percaya mayat yang mati secara mengenaskan itu semakin mengenaskan saja penampilannya.

“Entahlah.” Angel menggeleng pelan.

“Kenapa dari sekian banyak mayat, harus mayat ini?” tanya Ani lebih pada dirinya sendiri.

Angel menggigit bibir bawahnya sementara pikirannya menerawang. Apa mungkin,…

Angel segera memeriksa bagian dalam mulut mayat ini. Memang benar dugaannya. “Tanda itu ada padanya.”

Dave dan Ani yang penasaran segera melihat apa yang dimaksud oleh Angel. Ani langsung mundur beberapa langkah sambil membekap mulutnya. Sama halnya dengan Dave.

“Wahh, bau sekali.” pekik Ani.

“Apa hasil tes DNA nya sudah keluar?” tanya Dave tiba-tiba.

“Sudah.” ujar Fahmi yang baru saja datang dengan amplop coklat di tangannya.

Mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Fahmi berdiri di ambang pintu sambil menutupi hidungnya dengan ujung jubah putihnya.

“Kalian bisa keluar sebentar untuk melihatnya? Sungguh, aku tidak tahan dengan bau ruangan ini. Ah, kenapa juga aku harus membuat tubuhku yang sudah siap terbang ke Makassar ini dibumbui bau mayat ah,…” ucap Fahmi.

Angel menatap Ani dan Dave secara bergantian. Dua orang itu mengerti arti dari tatapannya. Lantas Angel menutupi tubuh mayat itu dengan kain putih lalu keluar menyusul Dave dan Ani yang sudah lebih dulu.

“Aku heran kalian bisa betah ada di dalam sana lama-lama.” ujar Fahmi. “Baunya membuat perutku serasa diaduk-aduk. Lebih ganas dari kalian berkendara di jalanan berbatu. Rasanya aku mau muntah.”

“Kalau kamu sering masuk ke sini, kamu akan terbiasa dengan baunya.” timpal Angel sambil menutup pintu. “Lagipula kenapa kamu menjadi dokter jika kamu tidak tahan dengan bau mayat. Dasar.”

“Maka dari itu aku mengambil spesialis bukannya dokter umum. Aku harap aku tidak sesering itu ke dalam kamar mayat.” balas Fahmi ketus.

“Oh ya, bagaimana dengan Rosa? Apa dia sudah ditemukan?” tanya Fahmi kemudian.

Pertanyaan itu membuat wajah Angel muram seketika. Jelas sekali bahwa perempuan itu masih merasa bertanggung jawab dan bersalah sekali atas hilangnya Rosa.

“Jangan seperti itu.” ucap Fahmi yang menyadari perubahan raut muka Angel. “Bukan hanya kamu yang bertanggung jawab atas hilangnya Rosa. Aku, dan semua orang di rumah sakit ini pun sama bersalahnya. Terlebih aku, kamu sendiri tahu bahwa sebelumnya Rosa adalah tanggung jawabku sebelum tugas itu diserahkan padamu. Aku juga merasa bersalah dan bertanggung jawab atas hilangnya dia, bukan hanya kamu.”

“Jika saja…”

“Jangan katakan jika saja.” potong Fahmi. “Kita semua yang bertanggung jawab, bukan hanya kamu.”

Dave tersenyum tipis lalu menarik Angel ke dalam dekapannya. Mengelus rambut kekasihnya itu dengan lembut. “Kita semua bersalah, Angel.” bisik Dave menenangkan.

“Baik.” Ani bertepuk tangan untuk mencairkan suasana. Perempuan itu memang selalu tahu cara untuk mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita buka amplopnya?” tanya Ani menatap tiga orang itu secara bergantian.

Fahmi menangguk. “Memang kita harus membukanya.”

“Baik, jadi menuruthasil tes DNA…” Fahmi menggantungkan kalimatnya saat tangannya merobek ujung amplop dan mengaluarkan kertas dari dalamnya.

“Salwa Selfira.” ujar Fahmi.

Seketika setelah Fahmi mengatakan identitas dari mayat—yang mati terpanggang di dalam mobil—itu Dave berlari memasuki kamar mayat. Sementara itu Ani yang sebelumnya berdiri tegak tiba-tiba saja sudah terduduk di atas lantai dengan pandangan nyalang. Dan Angel, ia diam di tempatnya dengan air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir dari sana.

“Tidak mungkin,” gumam Ani. “Bagaimana bisa?”

***

Hai hai hai hai hai hai hai hai hai hai :)))
Ngaretnya kebangetan yah:D

Maaf gue sok sibuk soalnya, hhe

Jangan lupa klik bintang di pojok kiri bawah ya, komen juga sekalian
Makasih:*

Angel (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang