Prolog

169 6 1
                                    

Matahari tampak malu-malu untuk menampakkan wujudnya. Burung-burung berkicau merdu. Bunga-bunga mulai bermekaran.
Embun jatuh pada dedaunan nampak menarik untuk dipandang.
Pagi ini tetap datang, tidak peduli menyesakkan atau membahagiakan.
Semuanya tetap berjalan seperti biasa walau ada luka yang tak berdarah, walau ada jerit yang tak terdengar, walau ada tangis yang tak terlihat. Semuanya akan tetap berjalan.

Aidah membuka jendela kamarnya,mengedarkan pandangan keluar ruangan. Tampak masih sepi karena para tetangga masih terlelap, rutinitas dihari libur yang memang digunakan kebanyakan orang sebagai waktu untuk beristirahat.

Gadis itu menghela nafas panjang seraya tersenyum damai menyambut fajar.
Ia segera beranjak mengambil jilbab instan bergegas turun menuju ruang dapur, membuka kulkas mengambil sebotol susu dan roti selai strawbery kesukaannya.

Ia membawa sarapannya ke meja makan, menyantapnya dengan lahap dan meneguk susu hingga tandas.
Selesai sarapan, Aidah menyapa orang tuanya yang sedang mengobrol di teras rumahnya.

"Pagi Ummi Abi, Aidah keluar sebentar yah mau gowes keliling kompleks," ujarnya sambil mengeluarkan sepedanya.

"Iyaa nak hati-hati, kalau cabut bunga orang isin dulu yah nanti kamu kena omelan lagi" ujar Ibunya dengan sedikit berteriak.

Ayahnya hanya terkekeh"dah buruan sana jangan kelamaan,"Aidah mengacungkan jempol dan mulai mengayuh sepedanya.

Aidah melewati deretan rumah dikompleks dengan bahagia sambil menyapa orang-orang yang dilihatnya.
Ia berhenti sejenak disebuah rumah wanita paruh baya yang sudah akrab dengannya, membuka pagar pekarangan yang penuh mawar putih kesukaannya.

"Nenek cantik boleh Aidah petik mawar ini" ujarnya sedikit berteriak supaya Nenek Lisa mendengar.

"Iya Aidah ambil saja" ujar Nenek Lisa yang muncul dibalik pintu dengan membawa selang air sepertinya mau menyiram tanamannya.

"Makasih nenek cantik, Aidah pergi dulu kalau gitu dahhhh", ujar Aidah sambil melambaikan tangan dan tersenyum.

Puas mendapat mawar putih kesukaannya, Aidah kembali mengayuh sepedanya menuju taman diujung kompleks.

Taman itu selalu sepi, pohon disana tampak kokoh meski sudah sangat tua, ayunan dan perosotan disana warnanya juga sudah mulai memudar, meski begitu taman itu cukup bersih dan sejuk.
Dedaunan hijau melambai tertiup angin, denting suara bertalu diantara sunyi taman.

Aidah memakirkan sepedanya, mendaratkan bokongnya pada ayunan dengan mata terpejam merasakan desau angin mengibarkan jilbabnya, sementara bibirnya mulai terus bergerak mengucap dzikir.

Ia sangat bersyukur Allah masih memberinya kesempatan untuk menikmati hidup ini.
Meskipun kesedihan nampak jelas dari matanya, cairan bening mulai menetes namun dengan sigap dia menyeka dan kembali tersenyum.

Ia juga berharap seperti apapun kondisinya, semoga Allah menjadikannya bagian dari orang-orang yang berjiwa tenang, sehingga kelak akan datang kepada-Nya dengan wajah yang bercahaya karena hati dan iman yang benderang.

****

Embun Dalam TahajjudkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang