Terjatuh adalah hal biasa. Kamu hanya perlu bangkit dan kembali melangkah. Terluka? Tak apa, kau bisa mencari obatnya.
***
Tahu-tahu umurnya sudah menginjak kepala dua. Tak pernah terasa, waktu bergulir begitu cepatnya. Sekarang, dia bukan lagi gadis kecil yang bisa bersikap manja. Realita mulai memaksa untuk bersikap tegas dan dewasa.
Ketika mengingat angka dari usia, hal yang pertama terbesit di kepala adalah... apa yang telah kamu punya? Sudahkah kau berbahagia? Membuat orang-orang di sekitarmu bangga?
Jika kau bertanya pada Aila, maka jawabannya belum. Dia belum punya apa-apa di saat teman-teman semasa sekolahnya sudah sibuk mengoleksi barang-barang bermerk dan mahal, di saat teman-temannya pergi pagi pulang malam untuk mengumpulkan pundi-pundi uang, di saat teman-temannya sibuk mengatur rencana pernikahan, di saat teman-temannya sibuk menjaga kehamilan dan persiapan proses persalinan, tapi di sinilah dia berada, di tengah pergolakan batin dan pikiran-pikiran idealisnya.
Andaikan pertanyaan itu diajukan padanya 3 bulan yang lalu, mungkin jawabannya akan berbeda. Aila memang belum punya apa-apa, tapi dia sudah bahagia. Dia punya Raksamala Muhammad Shiddiq—lelaki yang selalu mendukung dan berada di sisinya. Aila pikir, dia juga sudah cukup membanggakan orang-orang di sekitarnya. Dia punya riwayat akademis yang cukup baik, dan dia menerima penghargaan atas ketekunannya belajar sebagai lulusan terbaik. Sekarang dia kuliah sekaligus bekerja sebagai seorang tenaga pendidik, sesuai kehendak orang tuanya di usia yang terbilang masih muda. Kemanapun dia pergi dan bertemu dengan wali murid, kehormatan selalu tercurah untuknya.
Sekilas, bukankah terlihat terlalu sempurna bagi Aila? Hidupnya terlalu mulus, berjalan sesuai rencana. Terlalu ganjil, maka di sinilah takdir mulai menamparnya. Mempertanyakan kelayakannya sebagai manusia dewasa. Mampukah ia melewati ujian kehidupannya? Karena tak pernah ada hidup yang baik-baik saja, itulah mengapa seseorang bisa tumbuh menjadi dewasa lewat langkah nyata yang dilakukan untuk memecah berbagai masalah.
Aila lupa, dia masih belum beranjak dewasa kendati usianya sudah tak bisa disebut belia. Hari itu Raksa datang berkunjung ke rumahnya seperti hari yang sudah-sudah. Hanya saja, sejak awal kedatangan, lelaki itu sudah menampakkan ekspresi serius yang membuat Aila takut-takut berprasangka.
"Bukannya lagi sibuk, Mas?" setelah menghidangkan minuman dan kudapan seadanya, Aila duduk di kursi yang berhadapan dengan Raksa, menatap gurat lelah di wajah lelaki itu dengan seulas senyuman santun.
"Iya, tapi ada hal mendesak, penting banget. Ada yang harus aku bicarakan."
"Loh, kan bisa di telepon."
Raksa tersenyum, lalu menggeleng, "nggak bisa, harus langsung."
Aila mengangguk, perasaannya mulai tak tentu, ia cemas untuk alasan yang tak bisa dia pahami. "Ada apa?"
YOU ARE READING
Renovasi
Short StoryTentang jiwa yang sempat kehilangan asa. Tentang cinta yang pernah lupa siapa tuannya. Tentang luka yang menemukan obatnya.