Tidak ada yang mewah. Semuanya terasa begitu hambar bagi seorang Jeon Wonwoo.
Sejak umur duabelas tahun, ia terbiasa melakukan kerja serampangan. Kerja apapun asalkan bisa menyambung hidup. Baginya, meminta-minta kepada orang lain tidak lebih pada pencuri dengan kedok kelakuan baik. Lagi pula, selama masih mempunyai otak yang bisa di gunakan, selama masih memiliki badan yang sehat, kaki yang kuat menopang segala badai, dan tangan yang mampu bekerja dengan baik, mengapa harus meminta-minta?
Kedua orang tuan Wonwoo selalu menanamkan moral yang baik sejak kecil. Dan Wonwoo tentu masih sangat ingat bagaimana pesan sang ibu sebelum pergi mengikuti jejak sang ayah tercinta,
"Ingat Wonwoo, kita memang miskinㅡkeluarga yang serba kekurangan. Akan tetapi sayang ku, Jeon Wonwoo. Selama kau masih memiliki kakimu, selama kau masih memiliki tubuh yang sehat dan kuat, selama kau masih memiliki kedua tanganmu, pergunakan lah mereka dengan baik. Kau paham ucapan bunda kan, sayang?"
Wonwoo tersenyum kecut. Mengelus lembut lembaran foto usang yang yang telah menua dimakan oleh waktu. "Bunda, aku merindukan mu." Lirihnya, menahan nafas belagak tegar. Setidaknya, hanya foto usang ini yang ia jadikan sebagai pelantara atas segala rasa afeksi akibat kerinduan yang begitu mendesak.
Bahkan rasanya, Wonwoo telah lupa bagaimana rasanya pelukan seorang ibu.
Helaan nafas berat terdengar. Memejamkan mata sejenak sambil menunduk, Wonwoo mencoba menahan air mata yang siap meluncur bebas bak air terjun. Rumah kremasi ini cukup sepi, dan seperti biasa, setiap akhir pekan, ia akan mengunjungi makam ayah dan ibu. Menjadi anak tunggal cukup membuatnya kesepian, tapi... mau bagaimana lagi?
Tanpa sadar, matanya melirik pada jam dinding. Sedikit mengeryit ketika ia tergelitik oleh perasaan yang tak bisa di jelaskan oleh ucapan, namun ia paham perasaan itu. Ia pasti melupakan sesuatu.
Wonwoo mencoba mencari jawaban di celah waktunya. Lalu, ia mengerang kesal sambil menepuk kening. Meletakan bunga kecil pada loker yang berisikan guci abu milik kedua orang tuanya, Wonwoo membungkuk kan badan.
"Ayah, bunda. Lain kali, aku akan kemari setelah memastikan jadwal pekerjaan ku." Wonwoo benci bagaimana harinya selalu berjalan dengan tidak mulus. Pasti, selalu saja ada beberapa halangan yang membuatnya hanya bisa berpasrah diri. Seperti saat ini, ia lupa jika toko bunga tempatnya bekerja memiliki banyak pesanan untuk di kirim esok hari.
Oh bagus sekali Jeon, kau melupakan nya!
"Tolong jaga Wonwoo dari sana." Gumamnya, setengah tersenyum. "Wonie pergi dulu. Sampai jumpa minggu depan?" Alih-alih sebuah peryataan, Wonwoo mengucapkannya dengan sebuah pertanyaan. Yang ia sendiri tidak mampu menjawabnya.
Sambil berlari menuju tempat parkir. Wonwoo menatap ponsel lipatnya, hanya ponsel ini yang Wonwoo punya sebagai alat komunikasi dengan teman sekolahnya. Sebelum menaiki sepedah, Wonwoo melirik jam. Meringis menyadari betapa tipisnya waktu yang ia punya. Dan terlepas dari semua itu, inti dari semua kejadian yang di alami olehnya adalah ia terlambat. Dan itu bukan berita bagus, sebab Wonwoo benci dengan kata terlambat.
"Sial," ia meringis pelan. "Aku terlambat." Berpacu dengan waktu yang terus berputar, dan nafasnya yang tersenggal, Wonwoo mengayuh sepedah secapat yang ia bisa. Ia berhenti mendadak melihat jalanan kota Seoul yang tampak macet. Jika sudah seperti ini, pengguna sepedah sepertinya pun harus memutar jalan. Mata rubahnya mencari celah, lalu dengan nekat, ia berjalan di atas trotoar. Persetan dengan petugas polisi yang akan menghadangnya.
Mata rubahnya terbelalak, mengerem secepat yang ia bisa. Sedangkan di depan sana, sebuah mobil tampak memberikan peringatan melalui suara klakson yang panjang. Dan semuanya terjadi begitu saja; di mana Wonwoo yang terjatuh dari sepedahnya, dan mobil merah yang hampir menabraknya. Ya hampir, karena sejengkal lagi mobil itu akan menabraknya.
Wonwoo benci mengakui ini, karena semua ini karena kenekatan nya.
"Aakkhh!"
Sosok pria tampak keluar dari mobil. Melepaskan kacamata sunglasess nya. Berdecak sebal, "Perhatikan jalan mu, nona." Ucapnya, membantu Wonwoo untuk berdiri. Dan Wonwoo membenci bagaimana parfume beraroma buah sisilia clementine, tangerine, thyme, dan majroran ini terhirup oleh indra penciuman nya, apalagi aroma itu di susul dengan aroma lainnya, seperti buah limau, jahe, lavender, dan bunga melati. Membuat kepalanya pusing karena aroma jantan yang begitu menyeruak. Dan di akhiri dengan aroma woods, amber, dan musk yang begitu maskulin.
"A-aku bukan perempuan." Ucapnya setengah kesal, sekaligus bergetar. Wonwoo terkejut, bagaimana jika lelaki di depan nya ini tidak mengerem mobil tepat pada waktunya? Mungkin saat ini ia sudah berada di rumah sakit. Oke, anggap Wonwoo menjadi paranoid saat ini, "Teㅡterima kasih." Lanjutnya dengan tulus.
Lelaki itu mengamati Wonwoo baik-baik. Dan tanpa di duga, sebuah seringai kecil tampak pada sudut bibirnya. "Ah, kau pasti yang bernama Jeon Wonwoo."
Wonwoo mendongak. Menatap lelaki yang tampak menjulang tinggi di hadapan nya, "Bagaimanaㅡ"
"Ayolah," lelaki itu terkekeh, suaranya yang serak tampak memberikan sensasi tersendiri. "Satu sekolah tahu kalau kau adalah adik kelas yang dingin dan menyebalkan."
Wonwoo mengeram pelan. Tampak mencoba bersabar dengan sikap lelaki bar bar di hadapan nya, "Katakan mau mu." Suaranya berubah, yang awalnya takut-takut menjadi begitu dingin. Membuat lelaki yang ada di depan nya mengangkat sebelah alis, "Perubahan mu drastis sekali."
"Apa urusanmu?" Ujarnya dengan di akhiri senyuman sinis. Ia membenahi sepedah satu-satunya yang ia beli dengan hasil jerih payah. Di saat orang lain masih meminta dan merengek, Wonwoo haruslah berjuang untuk mendapatkan satu benda yang sangat di butuhkannya. "Karena kita tidak ada urusan lagi, ku rasa aku harus pergi." Wonwoo membenci bagaimana parfume lelaki itu tampak menempel pada pakaian nya, memberikan kesan tidak terlupakan pada indra sensitif nya.
Lelaki itu mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Tapi ku rasa kau memiliki masalah dengan ku, Wonwoo."
"Kali ini apa lagi?" Ujarnya dengan nada kesal yang terselip. "Bukan kah aku sudah mengatakan kata terima kasih?!"
Wonwoo semakin kesal karena ucapan nya hanya di anggap sebagai angin lalu. Sebab detik itu juga, lelaki si pemilik parfume jantan itu tertawa atas kalimat penuh nada kesal darinya.
"Aku Kim Mingyu, pastikan kau ingat nama ku dengan baik."
"Haha." Wonwoo tertawa hambar, menatap datar. "Aku tidak peduli kau siapa."
"Oh benarkah?" Mingyu berjalan menuju mobilnya, tersenyum manis. "Coba kau tanya pada temanmu, siapa Kim Mingyu." Ucapnya tanpa beban, masuk ke dalam mobil sambil berlalu begitu saja. Meninggalkan Wonwoo yang mulai merasa gundah.
Sial. Jika sudah seperti ini, ia hanya bisa bertanya pada Jihoon. Dan yang lebih sial dari segalanya adalah ia benar-benar sudah terlambat masuk kerja.
Tolong doakan Wonwoo agar ia tidak dimarahi oleh bibi Kang nantinya.
To be continued.
For your information, di sini Wonwoo adik kelasnya Mingyu, oke?
Terima kasih atas segala dukungan yang kalian berikan.
Regards,
Sycla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful × meanie
Fanfic"I see your darkness besides your beauty."_Kim Mingyu. mereka akan berkata jika Mingyu dan Wonwoo sangatlah 'sempurna'. "And i see your beauty besides your darkness."_Jeon Wonwoo. Lantas, benarkah seperti itu? [Pancyclamen; meanie: AU!; fanfiction...