Mentari Ayu
Begitu tulisan di name-tag sebelah kanan baju seragamnya.
Kelopak mata gadis itu mengerjap berkali-kali, bukan karena kelilipan, tetapi karena silau. Ia tersenyum segaris sambil menatap biru langit Jakarta yang membentang hangat.
Sepasang burung melintas di atas sana, tak seperti gadis itu yang hanya sendirian.
Juga tak seperti truk gandeng. Yang punya gandengan.
Perempuan berseragam putih abu-abu itu terus melangkahkan sepatu, derap langkahnya seakan diikuti oleh siluet hitam dirinya di atas aspal.
Mentari menghela napas, ia bersyukur dapat menghirup udara selama 16 tahun lamanya. Ia tak pernah mengeluh jika harus pulang dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari sekolah ke rumah juga nggak jauh-jauh amat.
Tak ada salahnya. Toh, hujan dan matahari adalah anugerah dari Tuhan.
Ia tak ingin merepotkan Bibi-nya yang sudah merawatnya sejak kecil. Kedua orang tua Mentari juga pasti bangga di sana melihat putri semata wayangnya itu sudah menjadi anak SMA yang mandiri.
Di perbatasan gang, sepatu gadis itu sudah berhenti menapak. Bukan, bukan karena sudah sampai rumah tetapi karena Mentari melihat sekelompok anak lelaki yang berada dekat jembatan di pinggir jalan sambil mengisap tembakau.
"Ya Tuhan, jauhkan Mentari dari mara bahaya..." Saat ia sibuk merapal, suara deruman motor menyerbu telinganya. Dan, lebih ngeri lagi saat motor itu menepi menjadi tepat di sampingnya.
Suara bariton dari balik helm full face pemilik motor pun terdengar.
"Jalan samping motor gue sini, lo nggak berani 'kan lewat disitu. Dasar cemen."Kok nyolot?
Mentari menyorot matanya, sengit seperti elang yang akan memakan hidup-hidup lelaki itu.
Sudah di ejek sama burung dan truk gandeng, lelaki ini mau mengejeknya lagi?
Dengan uang sekoper pun, Mentari nggak bakal mampu memaafkan orang yang bikin jantungnya hampir merosot.
Lelaki itu... baik sih. Tapi yang membuat kesal itu karena tadi mengatai dirinya dengan embel-embel 'Dasar cemen'.
"Siapa sih lo?!" sergah Mentari diakhiri dengan dengusan sebal.
Lawan bicaranya mematikan mesin motornya, sudut bibirnya kian tertarik sendiri. Benar saja Gisva nggak mengenali dirinya, pasalnya ia masih mengenakan helm full wajahnya.
"Nggak usah sok tahu." Mentari melengos.
Lelaki itu mendecih dan tak takut ambil resiko jika tiba-tiba Mentari dengan ganas mendorong motor Ninja hitam nya sampai nyusruk ke sungai.
Mentari berdecak kesal sambil mengalihkan pandangan ke arah pohon besar tak jauh dari sana.
"Ngambek lo?.... Oke, gue nggak mau lunasin uang kas gue yang nunggak 1 tahun."
Seketika mata dan bibir Mentari membulat. Pasti dia adalah orang yang sekarang ada di pikiran Mentari.
Lelaki itu bersungut malas sambil melirik ke arah anak-anak berseragam putih biru yang lagi nongkrong. "Dih, gaya gayaan tuh bocah ... rokok masih ketengan."
Dengan sekali gerakan tangan lelaki itu berhasil membuka kaca helm, membuat Mentari menangkap iris mata coklat pekat segelap cincau. Nggak, Mentari lagi kesel sama cowok satu ini. Ia sedang tak mau memujinya apalagi kagum. Bisa gawat.
***
A/n:
Welcome to my new story!
hope u like it<3
Love,
Z
KAMU SEDANG MEMBACA
Emigo
Roman pour AdolescentsMentari Ayu, adalah pelajar budiman dan sayang kucing. Ia merasa aman ketika Kiyo berada disisinya. Hingga akhirnya, ada Bondan yang membuat hidupnya terasa berbeda. Jadi kandidat apa yang harus Mentari pilih? Salah satu, keduanya atau tidak sama se...