S A T U : Minggu Pagi

24 4 0
                                    

 Minggu pagi. Di rumah Adeline.

Ruangan dengan dominan hijau itu lenggang. Padahal di dalamnya ada Adeline dan Bumi. Orang-orang paling ribut yang keributannya sudah diakui oleh banyak orang. Sejam yang lalu keduanya asyik ribut sambil bertanding main PS. Mereka ribut luar biasa. Bahkan Mama Adeline yang sedang menyiapkan makan siang di bawah—lantai satu rumah Adeline—mendengar jeritan-jeritan seru keduanya.

Itu sejam yang lalu. Sebelum seseorang masuk ke ruangan Adeline sambil membanting pintu, merebut konsol game dari Adeline dan Bumi kemudian mematikan TV. Adeline dan Bumi tentu saja menjerit jenaka hampir mengeroyok seseorang itu bersama-sama kalau bukan Langit orangnya.

"Ekhm,"Adeline berdehem canggung."Hai bosku."

Bumi terpatah-patah mengikuti."Y-ya, ya, halo bosku."

Adeline dan Bumi langsung terkaget begitu Langit mengancang-ancang untuk melemparkan mereka konsol game. Keduanya berteriak minta tolong, ampun, bahkan Adeline sudah bersujud agar Langit mau mengasihaninya.

"Ampun Langit! Itu semua bukan ide gue, itu ide si Bumi, suwer!" Mohon Adeline. Tangannya menggapai-gapai tungkai kaki langit yang memang masih berdiri semenjak kedatangannya."Langit ampun. Beneran bukan gue!"

"I-iya emang benar kalau gue yang ngasih ide." Aku Bumi lalu tangannya menunjuk Adeline,"Tapi dia yang ngarang ceritanya!"

"Nggak-nggak, gue jambak lo!"

"Beneran emang lo yang bilang ke Bu Angel!"

Kemudian Adeline dan Bumi sibuk menuduh satu sama lain. Berkawan dengan Langit hampir seluruh masa hidup mereka dapat membuat mereka paham bahwa menjadi lampiasan amarah Langit bukanlah hal yang menyenangkan. Bukan hanya disuruh mentraktir semua makanan yang Langit mau, tetapi juga dijadikan asisten ketua OSIS selama seminggu penuh. Dimana kerjaannya membantu Langit untuk mengurus apapun perihal OSIS. Apapun. Dan Langit tidak pandang bulu, mau itu Adeline atau Bumi yang jadi asistennya.

"Gue bahkan nggak ada ditempat pas kejadian. Kok lo berdua bisa-bisanya nuduh gue?" Ucap Langit tajam. Matanya memicing. Adeline dan Bumi menunduk persis anak kecil yang dimarahi ibunya.

Sebenarnya, Langit tidak akan marah-marah di pagi yang cerah ini kalau saja Adeline dan Bumi tidak membawa-bawa namanya dalam kasus Rusaknya Proyektor Kelas yang hari sabtu kemarin terjadi. Akibat ulah mereka berdua, Langit dipanggil kembali oleh Bu Angel dan selanjutnya diinterogasi mengenai hal yang bahkan Langit tidak pernah lihat bentuknya—Langit adalah kakak tingkat Adeline dan Bumi. Maka dari itu, dia hanya tahu bentuk proyektor kelasnya saja--.

Awalnya Langit ingin membantah semua ucapan Bu Angel yang katanya merupakan kesaksian dari Adeline dan Bumi namun Langit tidak ingin mempersulit diri. Dengan menghela napas, dia meminta maaf kepada Bu Angel berpura-pura bahwa kejadian itu memanglah karena dirinya. Akhirnya, Bu Angel menyuruhnya untuk membeli proyektor kelas yang baru menggunakan uang sekolah untuk kelas Adeline dan Bumi.

Dan sepanjang prosedur pembelian proyektor itu, Langit tidak pernah berhenti mengutuk Adeline dan Bumi.

"Sebenarnya emang salah lo, Langit." Ujar Adeline ragu-ragu. Disampingnya, Bumi mengangguk setuju."Lagian lo ngapain lewat di depan kelas kita? Kan kita jadi pengen negur lo. Lo tahu kita berdua rada sinting, sering banget lomba siapa cepat duluan negur lo bakalan ditraktir di kantin. Alhasil kan gitu. Gue lari, Bumi narik-narik gue, kaki kita tersangkut kabel proyektor dan proyektornya jatuh deh."

Langit memandang keduanya datar."Jadi semua itu salah siapa?"

"Langit." Jawabnya Adeline dan Bumi serentak.

Langit seketika merubah ekspresinya menjadi tersenyum. Yang lebih mirip ke seringaian. Adeline dan Bumi memasang wajah waspada."Jawaban yang bagus. Siap-siap, gue butuh dua asisten untuk bulan ini." Lalu Langit meninggalkan keduanya untuk menjawab panggilan Mama Adeline yang memanggil mereka untuk makan siang bersama.

Adeline sudah membanting diri di kasur.

Bumi hanya ingin pulang ke rumah.

"Gila aja si Langit. Sebulan, man! Gue bakal tua duluan sebelum usia gue delapan belas tahun." Sungut Bumi dengan wajah seperti tertimpa bencana. Buruk sekali. Tidak enak dipandang pula. Adeline tidak kalah buruknya,"Nggak mau gue jadi babunya. Nggak mau temenan sama Langit lagi!"

"Tapi nanti yang ngajarin materi kelas siapa? Stalycia kan kejam. Lerrya apalagi." Jawab Bumi. Dari dulu kalau Langit nggak punya peran penting di hidupnya—yakni sebagai tutor yang baik dan sabar—sudah dari dulu dia dan Adeline berhenti menjadi temannya. Karena, acuhkan fakta bahwa Langit baik, Langit merupakan teman yang suka menyiksa teman yang lain. Padahal kan Adeline dan Bumi baik sama Langit. Suka bantuin juga suka ngatain.

Adeline dan Bumi memang tidak tahu malu.

"Adeline, Bumi, kalian nggak mau makan siang? Ini lauknya udah mau dihabisin sama Langit!" Jerit Mama Adeline yang langsung membuat keduanya berdiri. Berlari-lari ke lantai bawah dengan jeritan heboh.

"Gue doain sakit perut ya lo, Langit!"

"Langit brengsek, jangan habisin makanannya!"

S O B A
• Dec 17th '17

Antara Langit dan BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang