Hari Kedua Puluh Tiga
Lihat, gadis itu datang lagi. Ini sudah hari ke dua puluh tiga Ia duduk di sana dengan air muka yang sama. Rambutnya yang aku yakin begitu lembut itu hari ini terurai lepas, membuat anak-anak angin membelai memainkan manja setiap helainya.
Kedua matanya yang bulat memandang hampa jauh seolah jiwanya sedang tak berada di sana menyatu dengan raganya. Lihat, ini sudah keberapa kalinya Ia menarik nafas dengan berat dan mulai mengusap-usap gusar kedua belah indera penglihatannya. Apa yang tengah Ia pikirkan?
Sesekali Ia membenamkan wajahnya di sana. Di telapak tangan yang aku juga yakinin begitu lembut dan hangat jika aku bisa menggenggamnya.
Aku menahan nafas ketika mata kami tak sengaja bertemu, bukan, bukan sebab mata kami yang beradu tatap. Nafasku tercekat lebih tepat ketika Ia mengangkat pandang dengan kedua bola mata yang basah dan raut muka yang kacau.
Gadis itu tersengal, kemudian memutus kontak mata kami. Aku menahan nafas. Hal yang terjadi selanjutnya membuat jantungku kali ini seolah olah jatuh ke bawah. Ketika gadis itu kini memilih merunduk, tertawa pedih dengan bahu terguncang.
Mataku tak bisa mengalihkan pandang ke arah lain. Aku tak mau ambil pusing pada beberapa hal lain. Aku tak perduli pada debu yang berterbangan akibat angin kencang yang barusan datang. Menyapu habis dedaunan kering kebeberapa sisi jalanan. Aku tak mau ambil pusing jika hujan di luar sana akan terus berlanjut entah sejam, dua jam atau sampai kapan pun juga.
Yang ingin aku ketahui adalah gadis di depanku ini.
Mengapa Ia terlihat begitu menyedihkan dengan tawa yang sekarang terdengar seperti tawa keputus asaan?
Kali ini Ia kembali mengangkat wajahnya. Tawanya terhenti meninggalkan hawa dingin sunyi dengan iring-iringan air hujan yang mulai deras beramai-ramai menabrak genting. Telingaku penuh dengan orkestra hujan, berseling kecil setengah isakkan dari gadis yang kini menatapku dengan guratan merah di bola mata putihnya.
Yang kami lakukan hanya terdiam, saling mengunci pandang.
Entah, aku bingung harus membuka kata dari mana dan apa. Tapi ketika kalimat itu akan keluar, Ia malah tersenyum pedih ke arahku. Bibirnya bergetar, kering. Parau ku dengar kalimat demi kalimat yang aku sama sekali tak paham apa maksudnya.
Aku mengedip beberapa kali, tak paham. Ia masih berujar, kali ini suaranya sedikit meninggi dan mulai mengisak. Ada beberapa kali kilatan emosi yang aku juga tak paham mengapa Ia luapkan semua di depanku.
Aku tak paham benar-benar tak paham.
Gadis itu mulai menangis lagi, kali ini Ia mengaum dengan suara yang jauh lebih perih dari sekedar mengisak.
Pening, pusing. Telingaku terasa penuh akan beberapa klise film yang berputar di otakku. Aku mencengkram erat kedua sisi kepalaku, terhuyung aku mundur dengan perasaan berdebar dan takut sekaligus. Aku merasakan kejang di seluruh titik di badanku. Seakan tengah diterjangi bongkahan es tajam yang menyucuk-nyucuk dingin dan mematikan setiap indera perasaku.
Gadis itu masih di sana, Ia menangis, menangis dan menangis dengan perihnya. Kedua mata nya terpejam seakan enggan melihat sosokku yang sekarang terhuyung mundur hampir menabrak tembok yang tepat berada di belakangku.
Di tengah isakkannya aku mendengar kalimat itu, "Pergilah, aku sudah lebih baik sekarang." Kalimat semacam itu bertabur dengan isak tangis yang makin membuat tubuhku kehilangan keseimbangan.
"Aku mohon, pergilah." Ia menutup wajahnya lagi. Ia mencoba mengulang kalimat yang sama seperti sebuah mantra. Suaranya sedikit meninggi, namun aku yakin Ia tak bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Dan cengkramanku melemas ketika-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Ke Dua Puluh Tiga
RomanceApapun atau bagaimana pun caranya. Perpisahan itu tetap lah perpisahan. Tetap saja rasanya menyakitkan.