Jika Allah mematahkan hatimu, ketahuilah Ia sedang menyelamatkanmu ... dari orang yang salah.
Bukankah obat dari patah hati itu sangat mudah? Selama sadar betul siapa Pemilik hati, hidup yang sesaat di dunia ini tak akan sebegitunya disesali ketika manusia kehilangan manusia yang lainnya, kan? Beberapa bulan sebelum undangan pernikahan itu mampir ke mejaku, aku telah mempersiapkan diri. Sudah matang akalku bahwa masa-masa jatuh cinta diam-diam itu harus diakhiri. Selamat tinggal angan-angan menjadikan seseorang imam di hadapanku. Cukup pula kupinjam namanya untuk kusebut dalam doa-doaku. Aku benar-benar perempuan menyedihkan. Di ujungnya, aku tersadar bahwa keinginanku hanyalah angan-angan konyol yang kurasa malah mendatangkan kemurkaan Tuhanku.
Karena di detik-detik waktu yang bergulir selama tiga tahun belakangan ini, tak membuat orang itu bergeming dan menoleh padaku. Satu derajad pun tidak.
"Mau nyumbang atau ikut ngejenguk?" celetuk Wulan.
Sahabatku yang bertubuh kurus itu mendekap amplop cokelat. Ada tulisan singkat yang digoreskan dengan spidol di sana. 'Sumbangan Bela Sungkawa'. Aku mendongak dan menatapnya dengan lelah. Kukerucutkan bibirku sembari desahan singkat keluar dari sana. "Temen-temen pada mau ngejenguk?"
"Nanti sore kurasa."
"Nitip sesuatu nggak masalah, kan?"
Wulan mengangguk. Kuraih amplop di dekapannya dan kulipat-lipat uang yang keluar dari dompetku.
Sudah jadi tradisi kantorku, jika ada yang sakit, atau meninggal baik itu karyawan atau kerabat, Departemen Umum akan mengedarkan amplop sumbangan di kantor media yang besar ini. Perwakilan HRD akan menjenguk karyawan yang terkena musibah, dan kalau luang, rekan-rekan dari departemen lain boleh bergabung. Tapi aku tak selera. Aku tak pernah dekat dengan Iman Ibrahim. Hanya sekadar tahu siapa dia. Hanya sekadar menjadi teman kantornya.
Hanya sekadar menjadi penggemar rahasianya.
Ketika Wulan menjauh dari mejaku, aku menarik pintu laciku. Ada sebuah buku di sana, buku mengaji dan tentang seri hidup. Ketika kuangkat buku yang tak terlalu tebal itu, kutemukan undangan pernikahan Iman. Harusnya akadnya telah berlangsung semingguan yang lalu. Kutimang benda yang masih terbungkus rapi dalam plastik itu, menatapnya dengan nanar. Ada inisial nama Iman di sana, bersama inisial nama perempuan yang tak pernah kukenal pun kuketahui parasnya. Aku sudah tak penasaran dengan paras rupawan perempuan yang memikat Iman dengan mudah, meninggalkanku dalam banyak tanda tanya atas seberapa tak pantaskah nya diriku untuk dicintai seseorang di usiaku yang telah melewati angka dua puluh lima.
Untuk apa aku tahu? Tak akan pernah mengubah kenyataan apapun.
Bahwa aku tidak dipilihnya.
Hatiku lalu menjadi kuat—klaimku sendiri. Pepatah bilang, yang tak membunuhmu akan membuatmu semakin kuat. Kutatap buku bacaan di tanganku. Kuambil beberapa lembar post-it-notes, menempelkannya pada beberapa halaman dan kugoreskan beberapa tulisan tanganku di sana.
Di halaman yang paling depan, kutempelkan pesan sederhana.
'Turut berduka atas kematian calon istrimu.'
Manusia itu egonya terlalu besar. Kalau dia kehilangan sesuatu yang dia senangi, atau menemukan sesuatu yang dia tidak harapkan, dia bersedih. Kesedihan itu timbul sebenarnya karena egonya. Bapaknya meninggal, dia sedih. Sebenarnya sedihnya bukan karena matinya bapaknya, tapi kesedihannya karena dia tidak punya orangtua lagi. Hal itu yang dia tangisi. Akunya. Perkara bapaknya mati sih memang semua yang hidup mesti mati. Tapi dia nggak punya bapak, itu yang buat dia sedih. Akunya, egonya manusia itu. Seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya, dia menangis bukan karena suaminya yang mati tapi karena dirinya tidak bersuami. Dirinya yang lebih banyak dia tangisi. Egonya yang lebih banyak bicara. Oleh karena itu, agama mengajarkan, Sabda Nabi:
"Cintailah yang kamu cintai sekedarnya saja, sebab boleh jadi yang sekarang kamu paling cintai, besok jadi yang paling kami benci. Tapi bencilah apa yang kamu benci sekadarnya, sebab boleh jadi hari ini yang paling kami benci, besok akan jadi yang paling kamu cintai."**
~~~
** Dikutip dari buku Ngaji Bareng KH Zainuddin MZ
YOU ARE READING
Mahar Iman
Spiritual"Demi menyelamatkanmu dari cinta yang salah, Tuhan mematahkan hatimu." Seorang perempuan meyakini bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan sementara. Tak lagi ia meratapi kisah-kisah pencarian imamnya yang tak kunjung diketemukan. Dan ketika ia be...