Bertemulah aku dengan dia dalam ketidak-sengajaan, pada suatu tempat yang belum pernah terjamah sama sekali, di mana waktu pertemuan itu tidak pernah terencanakan. Barang mungkin, karena tanpa didasari rencana itulah kenapa aku menyebut pertemuan itu sebagai pertemuan ketidak-sengajaan.
Aku diam, dia pun diam, terpisah jeda panjang bernama jarak. Jadi tidak ada saling pandang, apalagi sapa. Sebenarnya aku ingin mendekat, memangkas suatu jarak sebagai pembatas di antara kita. Tapi, tak bisa. Kakiku terasa memaku meskipun keinginan mendekat itu begitu kuat, seolah-olah ada pembatas lain yang lebih kuat daripada sekedar jarak: tidak percaya diri.
Awalnya aku biasa-biasa saja, tak merasakan apapun, tak ada istimewa, dan tak ada spesial juga tentunya. Jika pun sesuatu itu ada barang pun sedikit, aku langsung bisa meniadakannya dengan ketidak-percayaan diri. Tapi, siapa yang bisa melawan hati manusia? Hati tetaplah hati, bukan akal yang bisa berlogika. Hidup memang sederhana, kata banyak orang bilang, tapi bagaimana kita bisa menyederhanakan perasaan dari hati manusia?
Hingga lambat laun semua pun berubah, seperti ada yang lain. Tentu kelainan ini bukan akibat dari serangan negara api seperti cerita dalam anime Avatar. Lain, ini memang lain. Lain apanya memang masih rancu, tapi tetap tak wajar. Kelainan ini bak sebuah fatamorgana: di mana ketika kau mendekat, sesuatu itu langsung menghilang.
Usut punya usut, setelah dari satu perenungan, ternyata se-suatu yang membuat aku merasa lain dalam ketidak-wajaran itu penyebab utamanya adalah dia. Ya, dia dalam pertemuan ketidak-senga-jaan itu. Bagaimana bisa?
Sama seperti pertemuan dalam ketidak-sengajaan itu, diam, bebayang dia secara diam-diam pula masuk perlahan dan menyelinap ke dinding hati yang dulu sempat pernah terjamah: sembari merajut serpihan-serpihan kasih dari benang-benang asmara yang sebelumnya telah lama kusut. Pertahananku pun terkoyak, pintu hati pun kembali terbuka, dia pun telah berhasil masuk mengisi satu petak di ruang hati.
"Sial," lirihku mengeluh dalam sepi. Hati yang belum sembuh total ini, yang dulu pernah tersakiti kembali diketuk. Terdekap dalam sepi pula, aku mulai mengaksaran dia dalam tenunan kata-kata penuh syahdu, senyum itu, mata itu, andeng-andeng itu, dan.........., kini aku telah rindu. "Ah,sial," lirihku kembali mengeluh dalam sepi.
Tapi tunggu dulu, tunggu. Aku lupa pada sesuatu yang seharusnya aku tahu terlebih dahulu: nama. Iya, nama. Siapa nama dia? Awalan huruf apa yang melekat pada nama dia? Berapa rangkaian huruf yang terlabel dalam nama dia? Terdiri dari tenunan kata apa saja yang dile-katkan di nama dia? Nama itu penting bukan? Teramat penting. Tanpa nama, bagaimana aku bisa menyebut dia dalam doa?