diam adalah caraku menyapamu
dalam jarak
dengan bersembunyi
dijeda bahasamu
Pertemuan dalam ketidak-sengajaan itu telah usai bersamaan dengan berhasilnya dia menyelinap masuk begitu mulus tanpa hambatan sebagai konsumsi hati, dan serta-merta membentuk satu ruang rindu. Bagaimana tidak, dinding hati yang sedang dalam tahap pemulihan itu kembali tertenun satu......tanpa permisi, dan lantas menyulam benang 'kasih': seperti potongan kata dari namanya.
Apa memang begitu namanya jatuh hati? Aku masih anak remaja kala itu, belum tahu apa-apa, meskipun hati pernah terjamah.
-------------
Sejak dari pertemuan ketidak-sengajaan itu, aku mulai memperhatikan dia dalam satu jarak yang aku buat sendiri. Satu jarak di mana aku mulai memperhatikan dia dalam diam. Yang bila semua itu ditarik menjadi satu garis lurus, satu jarak itu meruntunkan suatu kronologi bagaimana aku mulai membiasakan diri pada berapa titik tempat yang terus berulang. Beberapa titik di mana membuat aku merasa bisa berkenalan tentang siapa dia, dalam diam.
Diam memang jadi satu-satunya kata yang bisa mengantarkan aku tentang siapa dia. Lihat, bagaimana secara diam-diamnya aku bersembunyi dalam kata 'jarak' demi melihat dia di satu tempat. Diam juga telah menjadi pembuka horizon bagaimana caraku untuk lebih mengenal dia: senyuman itu, pandangan mata itu, langkah kaki itu, cara bicara itu, andeng-andeng itu, dan........, yang aku tangkap dari bahasa diam, telah aku dekap menjadi sesuatu yang aku abstraksikan ke dalam hati.
Ah....Lebih baik tak usah mengingatnya.
Lebih baik aku memilih menikmati perasaan itu saja. Kau tahu kenapa? Jatuh hati dalam diam-diam itu layaknya seperti kopi. Pahit namun menjadi candu. Jatuh hati dalam diam-diam itu layaknya seperti bermain judi, memaksamu untuk terus mereka-reka bahasa ketidak-pastian yang berselimut keraguan, tapi tetap jadi candu.
Ya, menjatuhkan hati secara diam-diam itu memang bisa jadi satu kata 'candu'. Bagaimana tidak, karena dengan diam-diamnya pula candu itu berhasil membentuk satu ruang di dalam diriku: ruang rindu. Bait-bait puisi pun terangkai penuh syahdu dalam ruang itu, dan serta-merta mensabdakan kalau dia adalah tulang rusuk yang selama ini aku tunggu.
Begitu puitis baitan puisi itu menyapa dia dalam bahasa diam, merayap dari keseyapan sepi, dan lantas terdekap dalam ruang sunyi, hingga dalam diamnya diri, aku pun mulai berani menyebut dia dalam doa: walau tanpa nama.