BAGIAN II

1.2K 56 10
                                    

Banyak hal bisa jadi tidak berjalan mulus. Kebanyakan sih begitu.

Annabeth tadinya berharap pisau itu bisa memecahkan cangkang tersebut, atau mungkin menghancurkan si monster. Tapi yang terjadi, cangkang itu malah membuat sebuah retakan kecil yang memuntahkan sihir merah sepanas magma. Annabeth pun terhuyung mundur, matanya perih.

Serapis berteriak, “PENGKHIANAT!” Makhluk tongkat itu melolong dan meronta-ronta, ketiga kepalanya mencoba melepaskan pisau yang menancap di punggungnya dengan putus asa.

Di saat yang sama, Sadie melepaskan mantranya. Ia melemparkan kalung peraknya dan bersetu, “Tyet!”

Kalung itu meledak. Sebuah hieroglif perak raksasa, mengurung sang dewa layaknya peti mati transparan.

Serapis meraung ketika lengannya terjepit di salah satu sisi tubuhnya.

Sadie berseru, “Aku menamaimu Serapis, dewa dari Alexandria! Dewa yang ... uh, punya topi aneh dan tongkat berkepala tiga! Aku mengikatmu dengan kuasa Isis!”

Puing-puing mulai berjatuhan dari udara, beberapa jatuh di sekeliling Annabeth, ia berhasil menghindari sebuah dinding bata dan sebuah kotak sekering. Kemudian ia menyadari si monster tongkat itu tengah merangkak ke arah Serapis.

Ia pun turut menerjang ke arah yang sama, hanya untuk menerima hantaman sebongkah kayu yang jatuh tepat di kepalanya. Annabeth menghantam lantai dengan keras, kepalanya berdenyut-denyut, dan tiba-tiba saja lebih banyak lagi reruntuhan yang jatuh ke arahnya.

Ia menarik nafas sambil gemetaran, “Ow, ow, ow.”

Setidaknya ia tidak terkubur timbunan batu bata. Tak berapa lama kemudian ia berhasil keluar dari timbunan kayu lapis itu dan mencabut serpihan kayu sepanjang enam inci dari bajunya.

Si monster itu telah sampai di kaki Serapis. Annabeth tahu harusnya dia tadi menusuk salah satu kepala monster itu, tapi ia tidak tega melakukan itu. Ia terlalu sayang pada hewan, bahkan jika hewan itu adalah bagian dari sihir jahat yang berusaha membunuhnya. Sekarang semuanya sudah terlambat.

Sang dewa meregangkan otot-otot raksasanya. Penjara perak itupun pecah berhamburan di sekelilingnya. Tongkat berkepala tiga itupun melayang ke tangannya dan Serapis mengalihkan perhatiannya kepada Sadie Kane.

Lingkaran perlindungan Sadie sendiri menguap menjadi segumpal awan uap merah.

“Kau hendak mengikatku?” Serapis berseru, “Kau hendak menamaiku? Kau bahkan tidak menguasai bahasa yang layak untuk menamaiku, penyihir kecil!”

Annabeth berjalan maju dengan sempoyongan dengan nafas pendek-pendek. Sekarang Serapis memegang tongkatnya dan auranya terasa sepuluh kali lebih kuat dari sebelumnya. Telinga Annabeth berdenging. Tumitnya serasa diubah menjadi bubur. Ia bisa merasakan seolah daya hidupnya dikuras habis – disedot ke dalam halo merah sang dewa.

Entah bagaimana Sadie masih bisa berdiri tegak dengan ekspresi menantang di hadapan Serapis, “Baiklah, Tuan Mangkuk Sereal. Kau ingin bahasa yang layak? HA-DI!”

Sebuah hieroglif bersinar di wajah Serapis.

Tapi sang dewa segera menghapus hieroglif itu hanya dengan mengibaskan sebelah tangannya. Ia menutup kepalan tangannya dan sejumlah asap panas keluar di antara jari-jarinya, seolah ia baru saja menghancurkan sebuah miniatur mesin uap.

Sadie menelan ludah. “Mustahil. Bagaimana mungkin – ?”

“Mengharapkan sebuah ledakan?” Serapis tertawa, “Maaf mengecewakanmu, Nak, tapi kekuatanku berasal dari Yunani dan Mesir. Kombinasi kedua, mengkonsumsi keduanya, menggantikan keduanya. Kau tampaknya menyukai Isis ya? Sempurna. Dulu dia pernah jadi istriku.”

THE STAFF OF SERAPIS - TONGKAT SERAPISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang