Bagian 17

13.5K 838 390
                                    


"Jika boleh tahu, kita akan kemana, Pak?" ucap Gino.

Aku menahan pandanganku ke depan. Kami membelah keremangan jalan bebas hambatan dengan cepat. Jam mobil berkedip.

Pukul 11.11.

"Ke rumah seorang dukun."

Aku bisa merasakan sedikit sentakan gas. Gino terdiam beberapa lama kemudian. Lalu, menoleh. "Di Jatinegara?"

"Ya."

"Boleh saya tahu siapa namanya, kampung saya dekat dari sana, mungkin saja saya kenal."

"Ya, namanya Eyang Ijajil."

"Eyang Ijajil," ucap Gino seakan mencecap nama itu di mulutnya. "Belum pernah dengar, tapi mungkin saja namanya lain di kampung. Biasa begitu di sana."

"Oh, ya?"

"Ya, Pak." Dia tertawa kecil, "mungkin karena..."

"Tidak ada maling yang mencuri di kampung sendiri?"

Gino menyemburkan tawanya. "Iya, Pak."

Mendengar tawa itu, aku sedikit merasa tenang. Aku teringat, selalu ada orang-orang yang bisa kuandalkan dalam situasi apapun. Aku memiliki banyak anak buah yang bisa kusuruh. Aku bisa merasakan embusan optimisme dalam suasana itu.

"Ada permasalahan yang serius di rumah," ucapku ragu kepada Gino.

"Iya, Pak," ucapnya, dan kemudian, "maaf."

"Aku harus pergi ke dukun itu untuk kembali meminta di menyembuhkan istriku."

"Bukankah Ibu sudah sembuh, Pak?" ucap Gino perlahan.

"Entahlah," jawabku. "Kita ke sana untuk memastikannya."

***

"Pak Wijo, selamat datang kembali."

Aku telah mempersiapkan niat untuk konfrontasi yang keras sejak dari rumah. Aku memprotes kesembuhan Karina yang menurutku hanya mengubahnya menjadi sosok tanpa jiwa. Tetapi kemarahanku mencair seperti leleh lilin saat kembali bertemu dengan sosok yang melumpuhkan itu.

Dia berdiri di depan pintu tetapi bayangannya yang panjang merayap lewat dinding dan mencapaiku lebih dulu. Cahaya di belakangnya berpendar samar-samar. Aku mencium bebauan melati dan gaharu, mengingatkanku pada sosok wanita tua di hari pertama yang membuatku merinding.

Datang ke sini adalah ide yang buruk. Tapi, aku tak bisa berpikir jernih lagi. Aku terus berusaha mengingatkan diriku, ini semua demi Karina.

"Eyang masih mengingat saya," hanya itulah yang bisa kuucapkan saat menyambut sambu tangannya yang kering. Dadaku bergemuruh. Harus kuakui aku kembali lumpuh dengan aura magisnya. "Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan kepada Eyang, mengenai Karina."

Dia bahkan tidak merasa terganggu dengan panggilan Eyang, mengingat mungkin saja dia bahkan hanya beberapa tahun di atasku. Alih-alih itu, aku lah yang merasa diintimidasi. Sekian detik di bawah tatapan matanya, aku seperti seorang anak kecil yang sedang dihukum kakeknya.

Dia mengamatiku, masih tersenyum. "Ada apa lagi?'

Aku tak tahu apakah dia sepertinya sudah tahu. Melihat dari senyumnya, ada seringai geli yang tertahan.

"Istri saya..."

"Karina, ya, ada apa?"

Aku terkejut karena daya ingatnya.

"Apa?" dia menyeringai. "Saya tak bisa melupakan nama pasien,"

"Ya," ucapku akhirnya, "...dia memang sudah sembuh, Eyang. Tetapi, dia belum begitu sembuh. Seolah-olah, dirinya sedikit berubah..."

Eyang Ijajil kini menatapku. "Bagaimana perubahan itu?"

"Dia seperti...bukan dirinya."

Aku melihat kening Eyang Ijajil berkerut, tetapi senyum masih enggan pergi dari wajahnya. Dia lalu menarik napas panjang dan kini benar-benar mengamatiku.

"Boleh aku tahu, apakah rumahmu memiliki banyak pintu?"

Mataku membeliak. "Di mana Eyang tahu?"

Dia mengangguk. "Jawab saja."

"Iya, ada banyak ruangan dan semuanya saya pasangi pintu."

"Untuk apa?"

"Saya..."ucapku sedikit takut, "khawatir ada orang yang masuk ke rumah..."

Dia menggeleng, seakan tak terkesan dengan jawabanku. "Pak Wijo pernah dengar apa yang orang bilang kalau ada banyak pintu di rumah?"

"Apa?"

"Yang terbuka akan lebih banyak dari yang kita tutup.."

Aku berkernyit. "Apa artinya peribahasa itu?"

Eyang Ijajil tersenyum. "Itu bukan peribahasa. Itu nyata. Artinya, lebih banyak yang masuk daripada yang keluar. Kau paham?"

Aku berusaha mengingat-ingat apa yang telah kulewatkan. Tapi, aku tak tahu apa yang dimaksudkannya. Sementara itu, dia berjalan pelan ke singgasananya, duduk tetapi tak melepas tatapannya kepadaku.

Atau ke sesuatu di belakangku.

"Kau tak tahu, ada yang mengikutimu?"

Aku menoleh ke pintu, dan dingin merambat. Bulu kudukku merinding. Aku teringat wanita tua itu lagi.

"Maksud Eyang?"

"Ada kegelapan di rumahmu, aku bisa melihatnya, saat ini aku bisa melihat bayang-bayangnya di belakangmu."

Aku harus menelan ludah karena tenggorokanku terasa kering.

"Maksud...Eyang? Ya, saya pernah melihat wanita itu."

Dia menatapku. Cahaya lilin menari-nari di matanya. "Artinya kau sudah tahu. Kalian dihantui. Karina dihantui."

"Oleh wanita tua itu? Siapa dia?"

"Sosok dari keluarganya. Itulah yang membuatnya sulit untuk disembuhkan."

"Siapa?"

Eyang Ijajil tak menjawab. Dia seperti berpikir, atau mungkin sedang berkomunikasi dengan seseorang. Matanya memejam dan bibirnya sedikit berkomat-kamit. Sejenak, aku bisa mencium aroma tajam melati, lebih kuat dibanding sebelumnya.

"Kau harus melakukan sebuah ritual pengusiran setan." Dia berkata lamat-lamat. "Di rumahmu."

"Perlukah itu?"

"Jangan menyanggahku," katanya dan mendadak aku seakan bisa mendengar bunyi halilintar di suatu tempat. Lalu, dengan serak, dia melanjutkan. Suaranya terdengar bagaikan gaung mengerikan di telingaku.

"Kau harus bersiap. Aku akan membekalimu. Malam esok, Malam Jumat Kliwon."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Air Mandi MayatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang