Akhir menuju awal

113 8 2
                                    

Aku bertemu dengan seorang pria di tepian laut biru, dimanjakan sinar mentari sore. Nampak, pria itu tersenyum padaku, menandakan ia mengenalku. Ia melambaikan tangannya, bertanda aku harus menghampirinya. Ia kemudian duduk di sebilah pohon tumbang, yang sudah kering. Dinyalakannya kretek, dan menawariku satu batang. Akupun hanya diam saja, dan mengambil satu. Aku duduk disebelahnya.
"Lama tak jumpa, bagaimana kabarmu dan keluarga kecil itu? "
Aku diam.
"Dulu, kulihat kau masih sebesar ini." Menunjukan suatu foto di dompetnya.
Aku bingung.
"Aku tahu, kau mungkin bingung, kenapa kita bisa bertemu lagi. Aku tahu, kau mungkin bingung, kenapa kau ada disini" Ia terseyum kearahku.
"Lama tak jumpa, nak" Kata pria itu.
Seketika tubuhku membeku, mataku tak bisa berkedip, mulutku terasa kaku.
Aku bertemu dengan seorang yang selama ini aku rindukan. Aku bertemu dengan ia yang memotivasi aku untuk tetap hidup, dialah Ayahku.

Mataku tak kuasa membendung kumpulan air mata yang mendesak keluar. Berlinanglah sudah semua air mataku disana. Aku menunduk menandakan aku tak kuasa. Aku peluk erat sosok yang aku rindukan. Ia menepuk pundakku dan berkata "Lelaki boleh menangis, lelaki boleh merasakan sakit. Tapi lelaki tak boleh menyerah dan keluar dari tanggung jawabnya"
Aku mencoba bangkit dari kesedihanku. Ku coba tuk menjawab satu peesatu pertanyaannya.

"Kabarku baik. Aku tlah tumbuh menjadi lelaki seperti yang kau pinta. Kritis, tak kenal menyerah dan penyayang. Kabar Ibuku sehat, ia tlah menjadi wanita tertanggung di bumi ini, dan membesarkan aku dan adiku, serta saudaraku. Kabar adiku mengesankan, ia tak minder atau sedih meskipun ia selalu melihat temannya dijemput oleh sang ayah"

Ayahku tersenyum haru, kulihat air matanya mulai menggunduk dan membenntuk kaca yang hampir pecah. Tapi ayahku terlalu tegar, ia terlalu kuat. Sehingga ia mudah membangun benteng pertahanan matanya agar ia tak dianggap lemah oleh anak sulungnya.
"Maaf" Kata ayahku, sambil masih menghisap kreteknya. Menghembuskan asapnya ke arah bawah, kuliat ada setets aing yang ikut jatuh disana.
"Maaf untuk apa?" Tanyaku, sambil menyalakan kretek dan menghirupnya.
"Maaf, dulu ayah tak banyak memberimu banyak bekal" Kata ayahku sambil memandang sinar mentari yang mulai tenggelam.
"Tak apa, aku bahagia kau pernah mengisi sedikit waktu ku kala itu. Kuingat ayah pernah mengajariku membaca, itupun suatu kebanggan untukku. Memang benar, selepas kepergianmu aku merasakan banyak hal yang hilang. Salah satunya, kehilangan semangat. Namun bidadari surgamu, selalu ada untukku dan mendukung ku, meski aku bandel sekalipun. Harusnya ayah tak perlu meminta maaf. Aku yang seharusnya berkata demikian. Karna aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk ayah dan ibu, kerjaanku hanya bisa menghabiskan uang jajan tanpa bisa menyisihkan untuk masa yang datang" Aku memandang wajah ayah, yang selama ini aku nantikan kehadirannya.
Ayah hanya terseyum bisu tak berkata apa-apa lagi.

Ombak hilir mudik menghantam bebatuan pinggir pantai, angin mulai terasa berhembus kencang, langit menguning. Tandanya tugas mentari sebentar lagi selesai.
"Ayah tau, kau sedang menyimpan rasa pada gadis itu. Ayah tau, kau sedang benar benar mencintainya. Ayah juga tau, kau juga cemburu ketika ia bersama pria lain, dan membuat dirimu celaka" Kata ayahku sambil menginjak puntung rokok yang ia hisap.
"Iya benar, aku memang sedang jatuh cinta pada Ayu. Bukan karna ia cantik, bukan karna ia anak saudagar, bahkan bukan karna kemolekan tubuhnya. Karna aku benar-benar mencintainya" Kataku sambil masih menghisap beberapa kali kretek ku.
Ayah tersenyum.
"Ayah hanya ingin menitip pesan untukmu. Jangan terlalu dalam menyimpan rasa pada seorang. Karna jika kau sudah terjebak dalam cinta, segala hal akan menjadi rumit. Ayah berpesan, cukup jaga perasaanmu, lindungi orang yang kau kasihi, dan jangan lupa tuk meminta pada illahi" Kata ayahku sambil berdiri dari pohon yang tumbang itu.
"Waktu ayah tak lama, ayah harus kembali. Tetaplah menjadi lelaki tangguh. Tetaplah menjadi lelaki bertanggung jawab. Ayah harus pergi. Kelak, pada waktunya. Kita akan bertemu lagi" Ayah mulai berjalan kearah matahari terbenam, meninggalkan aku dipesisir pantai. Ia berhenti, dan menoleh kebelakang. Ia melambaikan tang padaku, kulihat air matanya bercucuran dari kejauhan.
Aku hanya terseyum. Seketika, angin berhembus dan ombak meninggi. Menghantam aku dipesisir.

HUJAN AKHIR TAHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang