1. 병 (disease)

142 21 4
                                    

Pertama kali aku bertemu dengannya adalah saat aku dihukum di tengah lapangan. Pagi itu aku telat bangun dan lupa membawa topi untuk upacara bendera. Sialnya lagi, hari itu matahari begitu terik dan hawanya begitu panas. Aku, sebagai siswa yang dicap dengan label "cowok terlemah" di angkatan, tentu saja sudah khawatir dengan skenario yang kemungkinan besar akan terjadi.

Jangan tumbang, jangan tumbang, jangan tumbang.

Mulutku berkomat-kamit dengan tangan mengepal keras menjaga kesadaran. Aku mulai mendengar suara dengungan, suara Kepala Sekolah seakan sayup walaupun ia sedang berkoar menasehati dengan suara lantang di depan lapangan.

Kelopak mataku mulai berat. Jika aku membuka mata, seluruh pengelihatanku seperti berputar.

Sial, aku tidak kuat.

Aku menekuk kakiku, memeluk lututku. Dengan mata yang tertutup, aku mencoba mendapatkan keseimbangan kembali.

Namun tiba-tiba pundakku terasa berat. Maksudku, tidak begitu berat seperti akan jatuh, namun lebih berat dari biasanya. Seperti ada tangan yang menumpu di atasnya.

Aku menoleh. Benar saja, ada dua tangan yang mencengkram pelan kedua pundakku. Aku kembali menunduk dan memejam kedua mata. Kepalaku terlalu pusing untuk bertanya siapa dia. Tetapi setidaknya ada yang mengerti sinyal yang kuberikan bahwa badanku sebentar lagi akan ambruk.

"Kak?"

Suara itu terdengar pelan namun aku masih bisa mendengarnya.

"Ke UKS aja, kak."

Ucapnya lagi. Mataku masih terpejam.

"Gue bantuin kok."

Aku mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa aku akan menurutinya. Aku berdiri. Dengan langkah sempoyongan, aku menuju ruang UKS yang berjarak hanya beberapa meter dari lapangan, namun rasanya aku seperti berjalan dari Sabang sampai ke Jombang.

Dia menuntun dengan kedua tangannya di pundakku. Aku mencoba menyamakan kecepatan langkahnya yang terasa begitu cepat. Mungkin dia takut aku akan semaput di tengah perjalanan, yang tentu saja akan menyusahkannya, jadi aku tidak memintanya untuk pelan-pelan.

Sesampainya di depan ruang UKS, dia membukakan pintu dengan salah satu tangannya dan satu tangannya lagi masih menopangku. Ketika pintunya terbuka, udara pendingin ruangan menerpa mukaku. Coba saja udara di lapangan sesejuk ini, aku mungkin masih kuat mendengar omelan Kepala Sekolah di tengah lapangan.

Ada 6 kasur di ruang UKS, namun 5 diantaranya sudah diambil hak gunanya. Jadi dia menuntunku ke kasur kosong di ujung ruangan. Waktu itu memang sedang musim pancaroba dimana penyakit sangat mudah menyerang. Tidak heran jika UKS ramai.

"Eh— Kak!"

Baru saja melewati 2 kasur, tiba-tiba kakiku tidak mau bergerak. Nafasku sudah tidak teratur, dan dalam sekejap, semua gelap.

Aku sudah tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku sudah terlarut lelap dalam tidurku.

Saat aku terbangun, aku melihat Hoshi, teman sebangkuku, yang sedang menggerakan jemarinya di atas layar telepon genggam.

Di tengah kesunyian, aku mengeluarkan suara, "Ngapain?"

"E monyet— Sialan," ia melompat sedikit di tempat duduknya, membuatku tertawa pelan, "ngagetin aja lo kayak sugus."

"Lo gak masuk kelas?" tanyaku dengan suara serak.

"Biarin. Udah mau jam pulang ini." Aku hanya tertegun mencoba menghitung berapa jam aku tidak sadarkan diri.

Hoshi yang tadinya duduk lalu berdiri mengambil segelas teh dari meja, "Minum dulu nih, udah dingin tapi."

Aku mencoba duduk, namun kepalaku masih terasa berputar hebat, jadi aku menggelengkan kepala dan kembali menidurkan badanku. "Ntar dulu deh, Hosh."

shadow  |  meanieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang