1

726 90 7
                                    

* June Pov. *

Aku sedang asik memandangi setiap aksara yang tertulis di depan layar laptop-ku. Kubaca setiap kata-kata magis di sana.

Perempuan yang satu ini terlalu kesepian, kurasa. Ia banyak menangis, mengeluh, dan mengasihani dirinya sendiri. Sesekali, aku dibuat tertawa dan meringis karena membaca setiap kalimat yang tertulis di akun Twitter-nya.
          

Memerhatikan akun Twitter-nya bukanlah suatu kebiasaan bagiku. Kegalauan dan tulisan sampahnya hanya kujadikan bahan tertawaan yang bagiku sangat lucu. Sebuah penghiburan melihat tulisan-tulisan yang begitu ekspresif dan kekanak-kanakan. Tulisan busuknya hanya kujadikan candaan, mengundang kelucuan tersendiri bagiku.
           

Tak heran, jika saat tak ada kerjaan seperti ini, aku kembali membaca setiap kegalauan yang tertulis di akun Twitter-nya. Kutertawakan sekali lagi, tawa yang entah mengapa begitu lepas. Sungguh, aku benci wanita sialan ini. Ia memposisikan dirinya di sudut paling bawah, seakan pria adalah satu-satunya mahluk Tuhan yang paling berhasil menyakitinya. Ditambah lagi, mention-nya yang menjijikan. Ia menyapa setiap pria layaknya kekasih yang kesepian dan haus perhatian. Mengapa Tuhan menciptakan makluk mahalucu seperti wanita ini?
           

Demi Tuhan! Aku tak akan jatuh cinta dengan wanita yang meletakkan hatinya pada banyak pria, bermesra-mesraan layaknya cumbuan adalah hal murah yang bisa diobral.
           

Suasana kantin kali ini tak begitu ramai. Malam-malam dengan hujan deras seperti ini memang tak mengundang banyak orang datang. Beberapa jam yang lalu, langit sudah memberi pertanda bahwa ia akan menangis, mendung sudah begitu tebal. Melihat cuaca yang buruk, banyak mahasiswa yang mengurungkan niat untuk berbincang lama di kantin.
           

“Ngapain lo?” Hanbin menepuk bahuku dengan kasar, “Serius banget, liatin apa?”
           

Aku tertawa geli dan menyodorkan layar laptopku agar juga dilirik olehnya. Hanbin, yang tak tahu-menahu langsung menyediakan pandangan ke laptop-ku, membaca setiap tulisan yang ada di sana. Beberapa menit, Hanbin sibuk membaca dan aku menunggu reaksinya, “Lucu, ya? Temen jurusan kita, nih.”
           

“Apanya yang lucu?” Dahi Hanbin berkerut, “Dia memaparkan fakta yang terjadi sekarang, perasaan wanita zaman sekarang, masa lucu?”
           

“Lucu, aja. Berlebihan, sih, kalau menurut gue.”
           

“Berlebihan gimana? Lo emang dasarnya nggak punya perasaan!” tanggap Hanbin dengan tawa yang lepas, seakan ia mengenalku dengan sangat dalam.
          

“Nggak punya perasaan gimana maksud lo?”
          

“Ya, pokoknya, lo nggak punya perasaan. Itu cewek mau ngasih tahu gimana perasaan dia lewat tulisannya dia, masa hal kayak gitu lo ketawain? Masa rasa sakit hatinya lo ketawain? Nggak punya perasaan lo!”
          

“Bukan cuma itu yang gue ketawain, ini cewe juga sering mention-an dengan nada-nada mesra pada banyak orang. Menjijikan!”
           

“Hidupnya dia, sih. Kalau lo nggak suka, ya, tinggalin aja. Lo nggak dipaksa buat suka sama tindakan dia kan?”
          

“Dih, Bin, otak lo sekarang udah kayak otak cewe! Bawaannya galau mulu! Ngeluh mulu!”
 

        

“Bro, harusnya sebelum lo ngomong gitu, lo kudu kenal dulu tuh cewe, apa lo tahu gimana kehidupan dia yang sesungguhnya?”
          

Aku menggeleng, tapi dalam hati aku menyetujui kalimat yang ia utarakan.
           

“Biarin ajalah dia mau berbuat apa, selama dia nggak bikin hidup lo ribet, ya, nggak perlu diurusin juga!”
           

Tiba-tiba, aku tertawa lepas. Menertawakan diriku sendiri.
           

Aku memutuskan meninggalkan sikap wanita penggalau itu, kututup layar laptop-ku. Ketika kulihat hujan berubah jadi gerimis dan cukup bersahabat untuk pulang menggunakan sepeda motor, aku pamit diri meninggalkan Hanbin. Langkahku ringan menuju tempat parkir sepeda motor dan kulajukan sepeda motorku di tengah gerimis yang tiba-tiba menderas dan berubah jadi hujan lebat. Aku mengarahkan sepeda motorku untuk menepi.
        

Hanya ada aku dan seseorang di depan toko tua yang sudah lama tutup. Mungkin, karena di sini terlalu gelap, tak banyak sepeda motor yang memilih menepi. Toko yang terasnya terlalu sempit itu menyebabkan aku dan orang di sampingku tak berjarak terlalu jauh. Aku tak menengok sedikit pun ke arah sosok itu. Aku terlalu sibuk mengutuk hujan dan meminta pada Tuhan agar hujan berhenti turun. Ini sudah terlalu malam.

          
Entah atas daya apa, sebuah sentuhan kecil terasa di lenganku, aku sontak menoleh. Dan, sosok itu, dengan siluet wajahnya yang begitu manis dan  dibagian pipi yang begitu Chubby, seakan tersenyum ke arahku. Tatapan matanya tipis-tipis terlihat karena masih ada sisa-sisa cahaya yang menampaknya bola matanya.
           

“Eh, baru sadar, kita sejurusan di fakultas kan?” bisik wanita itu, yang baru kali ini suaranya kudengar dengan jelas. Ternyata, suaranya menenangkan dan cukup meneduhkan.
          

“Iya, sejurusan.” Jawabku singkat, tak ingin terlibat percakapan terlalu jauh.
          

“Kamu, kok, berteduh di sini? Apartment kamu juga di daerah sini?”
          

Sialan! Wanita itu.... aku berusaha menjauhi segala percakapan dengannya, dia malah mengajakku terus bicara. Tidak tahukah dia bahwa aku begitu jijik mengenal dan berbicara dengan wanita penggalau yang sok laku seperti dia?
          

Sebisa mungkin, aku menjawab dengan singkat, agar tak ada celah untuk ia kembali bertanya, “Iya, di dekat sini. Biar nggak kejauhan, lebih murah.”
           

“Oh, lebih murah, ya? Kamar Apartment di sana masih ada yang kosong nggak?”
         

“Kayaknya ada.”
           

“Mungkin, aku bisa pindah ke sana. Kebetulan Apartment yang aku tinggali saat ini mau naik lagi harganya.”
          

Aku membelalakan mata, sepertinya aku salah bicara. Ingin rasanya aku meninggalkan wanita sialan itu sendirian dan segera melajukan sepada motorku dengan cepat. Aku berharap tak akan lagi bertemu dengannya. Ah, tapi aku tertawa dalam hati, aku baru tahu, ternyata wanita yang selalu kutertawai karena sikap galaunya; punya suara yang manis dan menenangkan.
          

Aku tak menanggapi pernyataannya yang terakhir. Ketika kulihat hujan tiba-tiba gerimis lagi, dan mereda lagi, aku bersiap-siap kembali melajukan sepeda motor. Tubuhku sudah ada di atas sepada motor dan wanita itu hanya memandangku dengan tatapan entah—aku tak bisa mengartikan tatapan itu. Suatu kekuatan seperti mendorong bibirku, kata-kata yang sebenarnya tak ingin kukatakan malah meluncur dengan mudah, “Mau gue anterin pulang ke Apartment lo?”

          
Tanpa pikir panjang, dengan suaranya yang teduh dan penuh bumbu manja, ia menjawab cepat. Ia segera menaiki sepeda motorku dan kami membelah jalanan malam dalam keadaan gerimis tipis. Kurasakan dalam keheningan kami berdua, jemarinya menyentuh pinggangku. Dan, kini, seluruh lengannya melingkar di dekat perutku.
         

Ada kehangatan yang berdesir. Aku seperti merindukan masa lalu. Tiga tahun yang lalu, saat mantan kekasihku memelukku sehangat ini.
           

Wanita ini.... sialan! Dia sangat lancang.
           

Namun, mengapa aku tak melawan dan berusaha untuk melepaskan?

Jangan Pergi  | June°Rosé✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang