Aku Mencintaimu karena Allah (14-Jun-2013)

800 20 9
                                    

Hari pertama duduk di kelas X-b, saat pertama aku melihatmu. Sejak pertama bertemu, aku sudah tidak suka padamu. Wajahmu putih dan dingin seperti salju. Padahal ada laki-laki yang mengajakmu berbicara. Namun kamu bahkan tak melihat ke arahnya. Hanya menjawab seperlunya. Terus saja membaca buku. Aku juga tidak suka kerudungmu. Kenapa kerudungmu sepanjang itu?

Yang lebih aku tak suka lagi, aku harus duduk sebangku denganmu. Aku mencoba mencari teman yang mau menukar tempat duduk, tapi sama sekali tak ada. Pasti akan sangat membosankan duduk sebangku dengan orang seperti kamu. Hahaha. Lucu sekali aku pernah berpikir senegatif itu padamu.

Kamu tersenyum padaku. Ya, karena aku harus membalas, aku balas senyumanmu. Aku ulurkan tangan kananku. Kau sambut dan kau jabat tanganku. "Assalamu'alaikum." Hah? Aku jadi gugup mendengar kalimat itu. Belum pernah ada teman yang mengucap salam padaku saat bertemu. Bukankah biasanya salam diucapkan murid ke guru atau anak ke orang tua?

"Wa'alaikum salam," aku jawab. Senyumku bertambah dari senyum seadanya menjadi senyum lebar karena senang. Senang dan heran padamu.

Sejak itu aku mulai kepo. Aku tanya, "Kamu ini Islam aliran apa?"

"Aku aliran Muhammadiyah."

"Oh, apa bedanya Muhammadiyah, NU, sama Persis?"

"Sebenernya semua Islam itu Muhammadiyah. Karena kita semua pengikut Nabi Muhammad."

Aku kurang mengerti dengan jawabanmu. "Jadi kalau aliran Muhammadiyah, kerudungnya harus panjang gitu ya?"

"Kalo kalau kamu Islam aliran apa? Kenapa enggak pake kerudung?" Sekali lagi kau buat aku gugup dengan ucapanmu. Tapi aku enggak marah kok. Hehehe.

Aku belum siap berjilbab.

Begitu bel istirahat berbunyi, kau keluarkan lagi buku bacaanmu. Aku intip sampul buku itu. Ternyata itu novel fantasi. Wah, kebetulan. Aku suka sekali baca novel-novel fantasi seperti itu.

Kau bilang asal sekolahmu dari SMP negeri. Aku kaget. Dari penampilanmu dan caramu berpakaian, awalnya aku yakin kalau kamu dari pesantren. Aku pikir kamu anaknya enggak asyik. Tapi aku salah. Aku berpikir terlalu sempit dan menilai hanya dari penampilanmu.

Setiap kita belajar bersama, kamu selalu mengingatkan aku untuk shalat. Ketika kita main di luar rumah pun, kamu selalu memaksa agar bisa shalat di awal waktu.

"Shalat kan hal pertama yang akan ditanyakan nanti ketika kita dibangkitkan." Jujur, aku suka risih kalau guru atau ustadz di TV suka nyindir-nyindir tentang shalat. Karena aku sudah terbiasa menunda waktu sholat. Tapi aku selalu bisa menerima kalau kamu yang mengingatkan. Padahal maksudnya sama saja. Jadi mau main apa saja atau belajar apa saja, aku tak perlu khawatir lupa waktu atau lupa shalat. Karena kalau sama kamu, akan ada alarm yang selalu mengingatkan waktu sholat. Hehehe.

Saat hari ulang tahunmu, aku ambil sebagian tabunganku. Aku belikan kamu novel yang akhir-akhir ini sering kau bicarakan tapi tak terbeli. Aku senang membelikannya untukmu. Walau harganya lumayan mahal. Tapi aku tak merasa ada beban. Aku senang membelikannya untukmu. Dan lebih senang lagi ketika kau menerima hadiah itu, kau langsung peluk aku. Lagipula, novel itu bukan apa-apa dibanding segala perhatianmu padaku ketika kamu mengingatkan aku untuk shalat, membantu aku mengerjakan tugas, menemani aku kalau belanja, dan menjadi teman sebangku yang sangat menyenangkan bagiku.

Aku sangat rindu padamu.

Kau juga bukan hanya selalu mengingatkan aku untuk shalat tepat waktu. Malam itu, malam yang selalu aku ingat. Untuk pertama kalinya kau ajak aku shalat maghrib. Berjamaah di kamarku. Saat kau main ke rumahku dan kemalaman karena menunggu hujan. Kau jadi imam, aku jadi ma'mum. Untuk pertama kalinya aku mendengar suaramu ketika membaca surat Al-Fatihah dan surat pendek ketika shalat. Suaramu sungguh sangat merdu. Percaya atau tidak, itu adalah pertama kalinya aku shalat berjamaah diimami oleh perempuan. Dan imam sholatku adalah sahabatku. Surat pendek yang kau bacakan pun terrasa panjang bagiku. Yang biasa aku baca kalau shalat biasanya An-Nas, Al-Fil, Al-Insyirah, dan surat-surat pendek lain. Karena tidak banyak surat yang aku hafal.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang