Apa rasanya seperti ini? Apa ini yang kau rasakan ketika beberapa puluh ribu mata memandang sosokmu, meneriakkan namamu, memandang penuh dengan rasa penasaran bagaimana suatu saat kau kedua tangan akan mencabut satu persatu nyawa, apa yang kau rasakan sama sepertiku pada saat kereta kuda menarik dan mempertontonkan tubuh kedua puluh empat peserta dengan busana yang kadang hanya mampu mengepalkan tangan. Hingga rasanya aku mampu mendengar setiap ucapan bisik-bisik mereka, mempertanyakan hubunganku denganmu.
Apakah mereka selalu seperti itu?
Selalu ingin tahu seperti apa hubunganku dan denganmu, tapi bukankah seharusnya mereka tahu hubungan kita? Apa kau tahu dan mungkin ini juga yang kau rasakan, ketika harus menyembunyikan semua agar tidak mengetahui seperti apa perasaanmu saat berhadapan dengan sepasang ribu mata yang menantikan setiap aksimu. Seperti itu juga aku memasang topeng untuk tidak menunjukkan bahwa ada segala macam perasaan bimbang, takut, kebanggaan dan kebencian yang jika saja kubuka topeng ini akan membuatku jatuh karena seluruh perasaan benciku pada mereka, akan membuat seluruh jiwaku hilang akal dan membuatku kalah dalam permainan ini. Seperti yang pernah kau lakukan, aku melakukan hal yang sama tersenyum, menyakinkan bahwa hal semacam ini tidak akan menyurutkan hasratku untuk berhenti.
Gaun indah yang membalut tubuh, suara tepuk tangan dan teriakan ibarat gemuruh langit yang tidak akan berhenti mereda. Pertanyaan retrotis dari apa aku sanggup melampaui dirimu yang mampu dari tiga besar dan terjatuh karena ledakan dari kalangan bawah membuatku tersenyum tipis sekaligus makin menorah kebencianku padamu, seakan aku tidak akan mampu melebihi dirimu yang bagi kedua orang itu sempurna dan aku-berada dalam bayang-bayangmu saja. Hingga pertanyaan masalah pribadi, aku tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan info bahwa aku pernah berbincang berdua saja dengan salah satu karir, tapi bukankah itu hal yang biasa? Atau mereka-cih! Aku lupa kalau mereka sanggup melakukan apa saja.
Apa kau tahu?
Aku membencimu karena kau tidak pernah memperlihatkan kelemahan dirimu di depanku atau mereka, aku begitu membencimu karena kau seperti tidak memiliki titik kelemahan, dan aku membencimu ketika kau menunjukkan sedikit ekspresimu pada orang lain, bukan padaku, dan mereka. Dan aku semakin membenci ketika tubuhmu terjatuh penuh dengan luka dan kembali tanpa ada setitik napas. Seakan takdir tidak pernah mengijinkanku untuk melampaui batas kemampauanmu. Seperti ketika disaat aku harus menunjukkan kemampuanku, menghacurkan satu persatu manekin yang telah mereka persiapkan. Apa yang aku inginkan sama sekali tidak terpenuhi, aku selalu kalah darimu. Selalu dan akan selalu kalah.
Apa yang tidak aku punya tapi mereka punya?
Jika kau mau tahu. Karena kau, aku menolak permintaan seorang gadis yang jauh lebih tua dariku, menolak untuk menggantikan posisi diriku berdiri disini, mewakili tiap distrik hanya untuk membuat mereka bangga, mengorbankan nyawa setiap tahunnya untuk dipersembahkan pada dewa demi kelangsungan hidup. Bodoh mungkin ya aku bodoh, menolak sebuah kehidupan lagi, tapi kau lebih bodoh dariku, hanya untuk memastikan seperti apa takdirmu mengajukan dirii menggantikan salah satu diantaranya dan lihat apa yang kau terima-kematian.
'Stupid girl.'
Mungkin itu yang akan kembali kau katakan untuk membalas kata-kataku. Seharusnya kau tahu, karena dirimulah aku kini berdiri di Cornucopia. Berdiri memandang mereka tanpa pernah merasa takut. Apa setelah dentuman itu melantunkan melodinya tubuhku masih ada disini?. Apa ketika semua ini berakhir, aku akan kehilangan siapa diirku? Kehilangan apa yang aku yakini, dan tidak bisa melampaui dirimu?
'We born to die.'
Kau selalu mengucapkan hal itu, hingga akhirnya kini aku mengerti, berdiri memandangi mereka, bediri menunggu lantunan meriam mengudara. Seperti ibarat menunggu kematian yang perlahan menghampirimu. Seakan mengisyaratkan, sejauh mana kakimu pergi melangkah, kematian akan datang menjemputmu. Membuatku kini tahu seperti apa perasaanmu.
Dentuman meriam berbunyi...
Dan ini akan menjadi alunan lagu kesedihan bagi mereka yang ditinggalkan. Bukankah begitu, brother!
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wrote A Letter For You
Teen FictionBerbasis dari Hunger Games punyanya tante Suzanne Collins. isi dan tokoh punya saya sendiri yang ada di roleplay forum. Kagak bisa bikin diskrip jadi baca saja. Happy enjoy reading