Chapter 01

13.5K 693 35
                                    

Seperti biasa.

Kegaduhan pun dimulai.
Pagi ini sama seperti pagi­-pagi sebelumnya. Tak adakah pagi yang tenang? Satu hari saja. Satu menit pun tak masalah.

Kinan hanya ingin menikmati paginya yang tenang dengan secangkir teh melati hangat dan pukis. Atau duduk di teras sambil menyapa tetangga yang lalu-­lalang ke pasar. Atau berjalan-­jalan santai di pematang sawah.

Ah, sayang semuanya hanya ada dalam khayalnya belaka.

Kenyataan yang terjadi adalah Kinan harus menghadapi si empunya rumah yang mengamuk. Laki-laki berkelopak mata besar itu membanting piring yang ada di atas meja. Lantai bermarmer motif kayu dalam sekejap menjadi kotor ditumpahi makanan. Menjijikkan. Tapi, Kinan lebih jijik melihat laki-laki itu. Sikapnya sama sekali tidak bisa ditebak. Dalam satu bulan saja sudah ganti lebih dari sepuluh pembantu, yang kesemuanya berakhir dengan pengunduran diri, bahkan ada yang berhenti tanpa kabar.

Oh, nasib apa yang membawanya hingga ke sini?

Bermimpi serumah dengan laki-laki ini tak pernah sama sekali. Benar-­benar sial.

"Kalau nggak mau makan ya, udah nggak usah makan. Repot banget, sih," sewot Kinan sambil memunguti pecahan piring di lantai.

"Bi ... biar aku ... saja," kata Liya bergetar, si pembantu—yang untungnya sudah tiga bulan ini bertahan di sini.

Oh, Kinan harap Liya betah bekerja di bawah tekanan dengan si gila ini. Majikan galak, tapi gaji tinggi.

"Ambilkan aja engkrak dan sapu," pinta Kinan ramah pada Liya, lalu ia kembali memasang sikap dingin pada Pulung. "Maumu itu apa, sih?" ia memungut pecahan lainnya yang kemudian membuat ujung jarinya tertusuk pecahan kaca. "Auw," jeritnya kecil.

Pulung menurunkan pandang ke bawah secepat ia bisa menutupi kekhawatirannya saat melihat ujung jari Kinan mengeluarkan darah. Ia hendak beranjak dari duduknya, tapi menahan kedua kakinya agar tetap berada di tempat.

"Kalau sikapmu seperti ini," Kinan menekan ujung jarinya yang berdarah, "semua orang akan pergi meninggalkanmu."

Terdiam Pulung. Kedua ibu jarinya menggaruk jari telunjuk pelan, lalu semakin cepat.

Liya datang dengan membawa sapu dan engkrak. Wajahnya berubah panik melihat setetes darah menempel pada pecahan kaca. "Aku ambilkan obat merah," gegasnya menuju dapur untuk mengambil kotak P3K.

Kinan berdiri, di mana tatapnya langsung melayang sekilas pada gerakan tangan Pulung. Sangat sulit membaca pikiran atau pun apa yang dimaui oleh Pulung, karena laki-laki itu begitu tertutup, atau mungkin sengaja menutup diri dari siapa pun. Tapi kenapa?

Setahun sudah ia tinggal bersama laki-laki itu—di sini, dan selama itu pula ia bertahan, dan mencoba untuk mengerti. Setidaknya ia menemukan satu hal bahwa Pulung selalu menggaruk telunjuk dengan ibu jari jika laki-laki itu tengah gelisah akan sesuatu. Ya, ia berhasil membaca, meski hanya satu dari banyaknya rahasia yang tersimpan.

"Mi ...," ringkas Pulung.

Kinan mendongak menatap Pulung yang masih setia di bangku kebesarannya. "Aku nggak dengar."

"Mi ... goreng."

"Mi goreng?"

Pulung mengangguk kaku.

"Astaga," lenguh Kinan. "Mau minta mi goreng aja harus pakai acara banting piring segala. Minta baik-­baik kan, bisa."

Pulung menunduk diam.

"Kalau kamu hanya diam dan nggak bilang apa­-apa, kita mana tahu apa yang kamu mau."

Lalu, Kinan menyuruh Liya untuk membuatkan mi goreng, sementara pecahan kaca yang berserakan akan dibereskan olehnya, tentunya setelah mengobati jarinya yang terluka.

Pekerjaan Kinan membereskan pecahan kaca selesai bersamaan dengan masaknya mi goreng yang tersaji di hadapan Pulung. Kinan mengambil duduk di seberang Pulung sambil mengamati Pulung melahap mi goreng bak anak kecil yang kelaparan setelah pulang main. Kalau saja sikap Pulung anteng seperti ini maka laki-laki itu terlihat manis. Sangat manis seperti gula jawa dalam bubur sumsum. Ugh. Bahkan ia sama sekali tidak pernah melihat senyuman Pulung.

"Enak?"

Lagi-­lagi, Pulung hanya diam.

Kinan menggaruk pelipis yang sebenarnya tak gatal. Mereka tinggal bersama dan obrolan mereka hanya sebatas 'ya' atau 'hmm' atau anggukan kecil, bahkan yang paling parah Pulung hanya menatapnya dalam dingin. Terkadang ia kesal dengan sikap diam Pulung, dan sengaja membuat hal-­hal yang dirasa akan membuat Pulung mengeluarkan suara. Seperti yang dilakukan Kinan sekarang yaitu menarik piring hingga menjatuhkan mi yang nyaris disendok Pulung.

Yes. Kinan berseru dalam hati menantikan kata apa yang akan meluncur dari mulut Pulung. Selama beberapa detik mereka saling membuat kontak mata, lalu Pulung terlebih dahulu memutus kontak mata, beranjak berdiri—tanpa sepatah kata ... seperti biasa. Oke. Dan, Kinan sudah terbiasa.

Kinan melenguh kecewa. Tapi ia lebih kecewa lagi pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, ia meninggalkan kesempatan magang di production house—yang telah menghasilkan banyak film box office tanah air demi—demi si laki-laki terkutuk ini. Coba tebak, siapa yang lebih gila.

"Lama­-kelamaan aku bisa gila di sini." Kinan menempelkan kedua siku di atas meja dengan kedua tangan menyusur rambut.

Penat. Banget.

Kepala Kinan mengangkat saat mendengar derap kaki tergesa dari Liya. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga, dan kalau yang berderap itu bukan Liya, jadi bisa dipastikan adalah makhluk tak kasat mata.

"Mbak Kinan, beras kita tinggal sedikit." Liya memberikan laporan.

"Masih cukup buat hari ini nggak?"

"Masih."

Wajah panik tak kentara Kinan berubah lega. "Nanti aku telepon Pak Wawan. Apa lagi yang habis? Biar sekalian."

"Telur tinggal dikit. Mi juga. Pisang, tepung, bawang, garam—"

Kinan menopangkan satu tangan ke dagu. Bilang saja persediaan bahan pokok di dapur menipis.

Dengan wajah masih diliputi kepenatan, Kinan menuju dapur untuk mendata apa saja bahan pokok yang hampir habis. Coba lihat, dirinya mirip seorang istri yang sedang mengecek isi dapur.

Istri?

Kinan terkekeh dalam hati. Berani taruhan ia kalau tak ada perempuan yang mau dipersunting untuk menjadi istri laki-laki itu, menghabiskan waktu bersama di dusun ini tanpa obrolan. Mending jomblo aja.

🌼🌿🌼

It's Nothing ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang