Chapter 02

6.9K 492 40
                                    

Kinanti Mahesya merapatkan sweter hijau toska dari embusan angin pagi. Warna sweter yang membungkus tubuhnya membuatnya tampak seperti bunglon yang coba menyerupai dedaunan untuk mengelabui musuh.

Satu per satu bahan sembako diturunkan Pak Wawan dari belakang mobil kap terbuka. Pak Wawan, adalah pemilik toko sembako langganan, yang selalu setia mengantarkan sembako setelah ditelepon oleh Kinan. Dan, Kinan bak kepala urusan dapur yang mengeceki, memberi tanda centang pada daftar yang dipegangnya, memastikan apa ada yang terlewat. Oke, semuanya lengkap sesuai daftar pesanan.

Pak Wawan mengangsurkan nota belanjaan ke Kinan. Keningnya berkedut mendapati harga telur naik lagi dibanding harga dua minggu lalu. Yah, ia yang semula tak terlalu peduli, bahkan tidak tahu-­menahu dengan harga, sekarang harga bawang merah pun ia tahu.

Beberapa lembar uang lima puluh ribu diangsurkan ke tangan Pak Wawan, yang langsung disambut serta­merta dihitung ditempat. Dirasa uang yang diterima sesuai sekaligus tambahan uang jasa antar, Pak Wawan melompat masuk ke mobil dengan kumis yang terangkat tertiup angin.

Terdengar suara mobil distarter satu kali, dan belum nyala. Terdengar lagi suara starteran panjang, dan masih belum nyala, hingga di percobaan ketiga, baru mobil menyala. Sebelum roda-­roda mobil menggelinding, Kinan buru mengejar. Dalam gerakan cepat membuka pintu depan mobil, duduk tegang di sebelah kemudi setir. Bisa dilihatnya Pak Wawan sedang mengerutkan kening.

"Antarkan saya ke—" kalimat Kinan menggantung, karena ia memang tak tahu hendak menuju ke mana.

"Mbak Kinan mau ke mana?"

"Pasar," ringkas Kinan, tapi jawaban ringkas itu tak begitu menyakinkan jika dilihat dari sikap gusarnya. "Masih ada yang mau saya beli.”

"Kan, bisa nitip saya sekalian, Mbak," tawar Pak Wawan.

"Keperluan cewek ... jadi nggak bisa nitip."

"Oh." Pak Wawan mengangguk paham.

Mobil pun perlahan meluncur meninggalkan halaman rumah. Kinan mengamati rumah putih berlantai dua yang kian mengecil dari kaca spion.

Selamat tinggal. Aku nggak akan pernah kembali ke sini lagi. Sudah cukup sampai di sini. Aku juga harus mengejar mimpiku menjadi penulis skenario. Bekerja dengan tim kreatif. Menghasilkan film. Menghadiri festival perfilman. Oke, yang terakhir kayaknya terlalu muluk. Tapi nggak ada yang nggakmungkin, kan? Haha!

Kinan tertawa jahat di dalam hati.
Embusan angin yang masuk melalui jendela mobil membelai wajahnya lembut. AC mobil tidak berlaku di daerah dataran tinggi seperti ini. Asal tahu saja, di rumah yang ditempatinya bahkan tak ada kipas angin. AC pun selamat tinggal

"Suaminya Mbak Kinan jarang kelihatan, ya."

Mengesiap Kinan. "Ek?" tersadar dengan rumor yang berkembang, ia pun bersuara, "Ah ... dia agak pemalu."

Kinan merutuki dirinya. Kenapa juga ia harus menjawab seperti itu, ya ampun, terdengar ia seakan membenarkan rumor itu. Entah dari mana datangnya rumor tak bertanggungjawab itu.

Ya, sangat tidak bertanggungjawab. Bisa-­bisanya warga sekitar sini beranggapan mereka sepasang suami-­istri. Cuih. Mana sudi ia diperistri oleh laki-laki batu itu.

Perjalanan mereka ditemani suara Zaskia Gotik berduet dengan suara berantakan Pak Wawan. Kinan mengukir senyum tipis mendengar Pak Wawan terus memanggil nama 'Bang Jono.' Matanya ia layangkan ke luar jendela, dan menangkap pasangan tua sedang duduk di teras rumah sembari menyesap kopi dan singkong rebus.

It's Nothing ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang