Satu

347 6 0
                                    

"Woy! Lihat siapa yang ada disini sekarang!"

Abraham tersenyum. Mempercepat langkahnya untuk segera menghampiri Aldrich. Laki-laki yang baru saja membuat kehebohan dengan menyadari kedatangannya tersebut. Gagal sudah Abra mengagetkan mereka. Kalau saja mata Aldrich tidak selalu berputar untuk mencari mangsanya, maka Abra akan berhasil memberikan surprise kepada teman-temannya.

"Welcome to Indonesia bro!" Sapa Aldrich begitu Abra sudah persis didepannya.

"Thank you Al. Masih suka disini?"

"Why not? Si Jody makin jago ngeracik minumannya dan Chris lagi suka disini nongkrongin dedek-dedek gemes. Ha ha ha". Ucap Aldrich yang langsung mendapat protesan dari Chris.

"Jangan didengerin! Gue sukanya sama yang udah mateng. Welcome home Bra!" Sapa Chris sambil menepuk pundak Abra ala-ala bro zaman now.

"No no no! Please jangan bra Chris! Enggak enak didengerin di kuping". Protes Abra yang langsung menimbulkan tawa diantara Aldrich dan Chris.

Memang agak susah mencari nama panggilan untuk Abraham. Sebenarnya bisa saja mereka memanggil Abraham dengan Ab atau bro saja dibandingkan malah dengan Bra. Tapi memang dasarnya mereka jahil, panggilan bra itu sudah tersemat dari pertama kali mereka bertemu di bangku SMA.

"How's London Bra?" Tanya Chris begitu Abra sudah ikut duduk didekat keduanya.

"Very good! Just missing Jakarta, so i decided to back here".

"Bullshit bro!". Ucap Aldrich sambil terkekeh. "London lebih enak dibandingin disini, nyokap gue bahkan lupa pulang begitu liburan ke London".

Abraham tertawa. Jelas dia masih mengingat mama Sita, wanita yang melahirkan Aldrich 32 tahun lalu. Wanita yang selalu menolak tua dan selalu up to date masalah fashion. Dulu sekali, Aldrich pernah menyukai wanita yang biasa saja. Biasa saja dalam artian apa yang dia gunakan bukan barang yang ber-branded. Dan sialnya ketika dipertemukan dengan mama Sita, beliau tanpa tedeng aling-aling mengomentari pakaian dan tas yang digunakan. Sayang sekali restu tak didapat, padahal wanita itu cantik sekali dan Aldrich terrgila-gila.

Abraham tersenyum geli mengingat hal itu. It's been a long time. Apa mungkin mama Sita masih seperti itu? Ah Abra merindukannya. Satu tahun yang lalu memang mama Sita ke London, memberitahu Abra dan menerornya untuk menemuinya. Tapi sayang, Abra masih berada di Thailand. Mengurus salah satu group hotelnya.

"Kenapa lo senyum-senyum?". Tanya Aldrich sambil memberikan segelas beer. Dia tahu Abra masih jetlag dan dia tak akan memberikan minuman yang berat.

"Rindu. Dengan mama Sita". Jawab Abra sebelum meneguk beernya.

"Beuh! Orang tua itu entah sekarang berada dimana. Setiap telpon yang ditanyakan mana calon bini gue. Tapi setiap gue kenalin ada aja protesnya".

"Masih seperti dulu?"

"Masih lah! Lama-lama gue lamar aja itu si Raline shah! Gue beli itu Air Asia biar dia gak usah kerja".

"Mimpi lo ketinggian!". Chris mencibirnya. Dia tahu persis bagaimana usaha mama Sita menjodohkan anaknya dengan sosialita ibu kota. Namun Aldrich selalu menolak dengan modelan wanita seperti itu. Kecuali Raline Shah. Dan beruntunglah kalian para wanita yang bukan sosialita, tunggulah sampai akhirnya abang Aldrich menemukan salah satu dari kalian.

"Jadi bener lo akan stay disini? Om Allan sempet telpon gue. Niat amat dan gak ngeliat jam. Dia pikir London - Jakarta perbedaan waktunya kayak Jakarta - Bekasi huh?" Ucap Aldrich panjang lebar.

My Man Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang