Bagian Dua

13 1 0
                                    

Sedikit lega. Karena sudah menumpahkan sesak dada yang bertengger di hati. Meraung seperti anak kecil di samping Askar di atap sekolah. Dan, cowok itu pun tak berkata sepatah pun. Membiarkaku dengan racauan tangis yang tak kuingat sama sekali. Sekarang lihatlah mataku, masih bengkak.

"Sial!" gumamku sembari mengenakan kacamata hitam. Aku melangkah keluar dari toilet sekolah. "Astaga!" Kejutku mendapati seorang cewek yang selalu, aghhh! Kenapa dia selalu membuatku jantungan?!

"Sudah selesai?"

Sial! Itu pertanyaan atau ejekan? Karena tadi dia menemukanku sedang menangis di atap. Makanya aku menyudahi acara mewek seperti anak kecil dan berlari ke sini untuk membersihkan wajah.

"Payah!"

"Ka-kau bilang apa?" Aku meninggikan suara. Yak! Makhluk satu ini sungguh menjengkelkan dengan nada dan eksprsi yang dingin.

"Dasar cengeng!"

Aku menggertakkan gigi. Kata payah ditambah cengeng?

Aiiish! Itu ... itu ....

"Hei!" hardikku melihatnya sudah meninggalkanku seorang diri. Apa maunya cewek itu?

***

"Selamat datang, Tuan," kata pria paruh baya berpakaian rapi, berjas hitam. Mereka adalah penjaga yang menjaga di pintu depan.

Tanpa memedulikan, aku melangkah hingga menaiki anak tangga. Karena kamarku berada di lantai dua.

"Sayang, kamu sudah pulang?"

Aku berhenti pada anak tangga ke tujuh lalu membalik badan, menatap wanita berumur 35 tahun dengan lipstik tebal merah merona. Pakaiannya yang ekstrim, maksudku super ketat hingga tampak belah ... ah, itu tampak menjijikkan. Benarkah dia ibuku?

Tidak!

Ibuku hanya satu. Bukan dia yang seenaknya mengaku-ngaku telah melahirkanku ke dunia ini.

"Zero, papamu ingin bicara."

"Aku lelah," ujarku seraya melangkah menuju kamar. Aku tidak ingin mendengarkannya. Apalagi menjadi seperti dirinya. Tidak akan pernah. Bisakah aku menjalani hidup ini dengan damai?

"Zero ...." Ketukan pintu dari luar. Wanita itu terus memanggil-manggil namaku.

"Berisik," gumamku sembari melempar tas sembarangan--mengacak rambutku yang mulai panjang.

Lelah. Terpaksa aku membukakan pintuk untuknya.

"Apa?"

"Kau masih marah sama mama?"

Aku tidak tahu air mata yang menggenang di matanya saat ini. Asli atau palsu.

"Ibuku cuma Aline," kataku.

"Kau sangat membenciku?" Air matanya menetes membasahi pipi.

Kalau boleh jujur. Sangat. Aku sangat membencinya, jika boleh memilih, aku ingin tinggal bersama Ibu Aline dan Ayah Ariel. Akh! Kenapa dia tiba-tiba muncul dan mengaku-ngaku sebagai ibuku? Begitu juga orang yang bernama Aras selaku ketua mavia, mengaku-ngaku sebagai ayahku.

"Zero, dengarkan mama. Saat itu mama terpaksa menitipkanmu pada Aline. Itu semua kami lakukan agar kamu selamat, Sayang! Mama tidak ingin mereka menyakitimu--"

Aku mengangkat tangan mengisyaratkan 'setop'. Aku tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun.

"Apa keluarga ini begitu buruk di matamu?" tanyanya yang membuatku mengatupkan mulut semakin rapat. Air mata wanita itu sudah menganak sungai.

ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang