Ayah, usiaku duapuluh. Dan kau belum pernah mengajariku tentang perasaan-perasaan.
Tentang mencintai, memperjuangkan, mengorbankan, sampai harus mengiklaskan.Ayah, di hari-hari sulit ini aku bertemu dengan orang yang tak semuanya baik padaku. Bersikap manis didepanku, dan menjatuhkan saat dibelakangku. Bagaimana menjadi wanita kuat itu ayah? Seperti khadijah, seperti dongeng-dongengmu dahulu setiap malam. Aku rasa, aku tak bisa menjadi seperti Khadijah, seperti Aisyah.
Ayah, bagaimana rasanya dicintai itu? Bagaimanakah Cinta Sejati itu? Aku tak mendapatkan pelajaran itu saat aku sekolah ayah. Apakah kehilangan itu rasanya sepahit ini.
Ayah, aku pernah bodoh untuk beberapa hal. Antara membedakan yang tulus dan tidak. Salahkah jika aku berfikir bahwa semua orang itu baik. Aku tak tahu, ternyata diantara mereka ada yang menyakitiku. Bahkan ayah, aku masih sering percaya dan memaafkan. Bodoh bukan aku..
Ayah, kini kurasa aku telah dewasa. Bukan lagi puteri kecilmu yang dahulu sering menangis. Kini aku tak bisa lagi menangis dihadapanmu. Walaupun aku rindu kau gendong, peluk dan cium. Kini hal yang membuatku menangis bukan lagi boneka-boneka lucu, bukan mainan itu yang membuatku menangis kini. Tapi orang yang tak baik yang membuatku sering menangis ayah.
Ayah, jalan mana yang harus kutempuh saat banyak orang ingin menjatuhkanku? Apakah aku harus mundur kebelakang. Atau meninggalkan semuanya? Jalan hidup ini sangat indah menurutku, aku mencoba tetap tersenyum pada hal yang menyakitiku. Saat itu pulalah aku membutuhkan pundakmu sebagai sandaran yang kokoh. Kumohon tetaplah bersamaku menemani dijalan yang berliku ini ayah. Sungguh aku takut tergelincir, aku takut terjatuh dan kau tak ada disampingku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayakan Kehilangan
RomanceAku tahu warna apa yang kupilih Aku mengerti rasa apa yang kusuka Meskipun warna tampak buram Meskipun rasa sedikit hambar Warna tetaplah warna Dan rasa tetaplah rasa Hanya aku yang bisa memilih dan menentukan