21. diagnosis

1.3K 110 14
                                    

Vote sebelum baca!

"Mungkin lo masih anggap gue stranger, tapi lo bisa anggap gue sahabat lo."

🌹

Dean memperhatikan Sabil yang sedari tadi diam. Dean dapat merasakan kalau Sabil salah tingkah, gugup dan serba salah. Sedangkan, Sabil sendiri sekarang sedang menahan debaran jantungnya yang sedari tadi memompa hebat. Please, stop ngeliatin gue.

"Kamu mau ikut, nggak?"

"Kemana?"

"Ketemu bokap."

"Uhuk uhuk!  Gue belum siap!"

Dean bengong sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kamu mikir apaan sih, HAHAHAHA. Aku mau ngajak kamu jengukin papah aku, dia kan dirawat dirumah sakit."

Perkataan Dean sangat menampar kemaluan Sabil. Bentar-bentar, ambigu. Maksudnya, mendengar perkataan Dean tadi...., Sabil merasa sangat malu. Bisa dibayangkan seberapa merahnya wajah Sabil sekarang.

"Jangan nunduk terus, dong. Kamu takut sama aku?" Dean mengangkat wajah Sabil dengan tangannya. "Ya ampun kamu sakit? Muka kamu merah banget, Bil!"

Sabil pun menepis tangan Dean, "Gu-gue mau ke toilet dulu."

Dean tersenyum lebar, "lucu banget sih, nggak paham."

Di toilet, Sabil menatap wajahnya dicermin. Ia menghembuskan nafasnya, melihat betapa merahnya wajahnya saat itu.  Sabil meletakkan kedua tangannya di pipi.

"Duh, gue kenapa sih."

Kini tangannya beralih memutar kran wastafel dan mencuci wajahnya. Sabil kembali mengatur nafasnya, lalu berusaha bersikap normal didepan Dean.

"Udah? Yuk."

"Yuk?"

"Kerumah sakit."

Sabil memainkan kukunya, nampak menimbang-nimbang.

"Gak usah khawatir, papah aku baik kok."

Dean pun menggenggam tangan Sabil, dan membawanya kerumah sakit. Sesampainya disana, Dean kembali menggenggam tangan Sabil. Seolah-olah ia takut kalau Sabil akan hilang jika ia lepas. Didepan ruang papah nya, mereka berpapasan dengan Valdo.

"Hei, Bil."

"Eh? Kak Genteng—maksud saya kak Valdo. Kakak ngapain disini?"

"Tanya Dean aja deh, gue ke Cafetaria dulu ya."

Valdo pun pergi begitu saja, bukan tanpa maksud. Dia hanya tak ingin merusak moment mereka.

"Kamu lupa, ya, sayang? Dia kan sodara tiri aku."

What?  Sayang? SAYANG? S A Y A N G?

"Oh, iya lupa."

Dean pun mengajak Sabil masuk, lalu memperkenalkan Sabil kepada papahnya. Nampaknya Ardi menerima Sabil, terbukti dari ucapannya yang mengatakan bahwa. "Kamu pinter cari cewek juga, ya. Papah setuju kamu sama dia."

Gak lama, Valdo masuk dan berbaur dengan percakapan mereka.

"Pah, Dean ke Cafetaria dulu ya. Val, jangan lo apa-apain si Sabil."

Valdo mengacungkan jempolnya sambil mengangguk.

"Gue ikut dong, kak."

"Kamu disini aja, ya. Nanti capek." ucap Dean sambil merapikan poni Sabil sekilas.

Dean pun berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Dan langkahnya terhenti ketika sudut matanya tak sengaja melihat Atha diruangan dokter.

"Ngapain dia?" karna penasaran Dean pun mengintip.

Nampak sang dokter menyerahkan map putih kepada Atha.

"Diagnosis?" Dean mengerutkan dahinya lalu berbalik. Entahlah, tapi dia sangat penasaran.

Ceklek

Pintu ruangan tersebut terbuka, Dean dan Atha saling kaget satu sama lain.

"Ikut gue ke cafetaria." ucap Dean sambil berjalan mendahului Atha.

🌹


Dean dan Atha sudah berada di Cafetaria sebelah rumah sakit. Hening, mereka sibuk menenggak kopi Moccha dan Latte yang mereka pesan. Namun, pandangan Dean selalu terarah kepada Map putih dihadapannya.

"Apa itu?" ucap Dean dengan nada seperti mengintrogasi.

Atha membuat ekspresi seolah-olah bertanya, itu apa?
Dean yang peka pun menunjuk map tersebut dengan dagunya.

Atha diam sejenak, lalu nyengir kuda. "Hasil diagnosis."

Dean mengangkat sebelah alisnya, "diagnosis apa? Lo sakit?"

Atha mengangguk, "iya sakit, disini." Atha menunjuk dadanya dan memasang ekspresi sedihnamun cenderung lebay.

Dean geleng-geleng, "gue tau itu map diagnosis, gue harap lo bisa cerita ke gue. Mungkin lo masih anggap gue stranger, tapi lo bisa anggap gue sahabat lo." ucap Dean serius—sambil menyodorkan secarik kertas berisi id linenya.

Atha berdeham, lalu mengangkat suara. "Sebenernya gue didiagnosis menderita jomblo akut stadium 4. Gue heran, kenapa lelaki setampan gue bisa kena penyakit kayak gitu. Padahal—"

"Jangan diterusin," Dean berdiri lalu menepuk bahunya, "gue mau balik ke rumah sakit, lo bisa cerita ke gue lewat Line kalo lo mau."

"Tunggu," ucap Atha dengan nada yang nampak serius sekaligus dengan ekspresi mukanya yang ditekuk.

"Tolong jangan bilang apa-apa ke Sabil."

Dean menatap heran kearah Atha selama sepersekian detik, lalu mengangguk samar. Dean pun bangkit lalu pergi meninggalkan Atha.

"Gue duluan."

Atha menghela nafasnya, lalu membuka map putih tersebut. Dengan tangan yang bergetar, ia mengeluarkan kertas didalamnya. Tenggorokannya serasa tercekat oleh benda yang mengganjal, ia menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat hasil diagnosis tersebut.

Leukimia Myeloid Akut.

.
.
.
.
.
.
.

tbc

🌹

HEUHEUHEU!1!1!1

Keluar banyak konflik kan yorobun.
Jangan lupa vote comment ya, mwa.

DeanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang