Aku melangkahkan kakiku lebih jauh. Sembari menghisap oksigen dalam-dalam lalu mengembuskannya. Rasanya tenang jika sore hari ini duduk di taman.
Kakiku melangkah menuju sebuah bangku berwarna putih yang beberapa catnya telah terkelupas. Aku sengaja mendudukkan diriku di atas bangku tadi. Langkah selanjutnya, aku mengambil benda putih itu dari dalam tas ransel kecilku. Lalu memakainya di telinga.
Hari ini, aku ingin mendengarkan lagu-lagu yang santai saja. Sebab, lagu-lagu itu akan terdengar sangat pas dengan novel yang akan kubaca hari ini.
Sebuah novel I Wuf You karya Wulan Fadi tergenggam erat di tanganku. Aku mulai membuka satu persatu halamannya. Angin membelai wajahku lembut. Membuat beberapa rambutku mendaga dari kucirannya. Aku menyelipkannya ke belakang telinga.
Mulutku sesekali terbuka untuk menyanyikan lagu yang kudengar melalui earphone. Aku membolak-balikan halaman buku itu sampai akhirnya aku menyadari bahwa ini sudah larut sore. Aku harus pulang, masih banyak tugas sekolah yang belum kukerjakan.
Mataku sempat menangkap seseorang laki-laki di depanku. Aku memandanginya cukup lama. Ia duduk di bangku yang sama denganku. Maksudku, jenis bangku yang sama, di seberang sana.
Sebelah telinganya mendengarkan sesuatu dari earphone miliknya. Tangannya memegang sebuah pulpen-mungkin biru-dan sebuah buku catatan.
Kakinya bergerak-gerak memukul pelan rerumputan taman. Nampaknya ia sangat menikmati sesuatu yang didengarnya itu.
Aku masih memandangnya hingga ia menyadari seseorang telah memandangnya. Segeralah aku mengalihkan tatapan pada rumput taman yang goyah karena tertiup angin.
Ini sudah sore dan aku harus pulang.
Aku berdiri, merapikan novel dan beberapa barang milikku ke dalam tas kemudian berjalan meninggalkan taman.
Sebelumnya, aku sempat memandang lelaki itu.
Lagi.
-----------------------------
Rasa-rasanya matahari tak ingin menampakkan wujudnya hari ini. Langit mendung, pertanda bahwa seharusnya aku menyiapkan sebuah payung sebelum pergi dari rumah. Angin bertiup cukup kencang, beradu dengan mendung di atas sana. Aku mengeratkan jaket berwarna coklat tua ini.
Kakiku memaksa untuk berjalan lebih cepat karena air-air di atas itu sudah mulai berebut untuk turun. Aku memutuskan untuk berhenti di sebuah kafe sebelum air hujan berebut menyentuh rambutku yang kututup menggunakan jaket.
Tanganku mendorong pelan pintu kaca bertuliskan open itu. Aroma kopi seketika menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Aku tidak suka kopi, tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya kafe yang terdekat dalam jangkauanku sebelum badanku basah kuyup terkena hujan.
Aku memilih meja bernomor tiga yang terletak di ujung kafe. Cukup jauh, tetapi itu lebih baik daripada aku harus berdiri di tengah-tengah kafe yang semua mejanya hampir terisi penuh.
Aku menatap jendela yang mengembun karena tetesan air hujan. Suara hujan beradu dengan kerasnya suara pengunjung. Aku segera memanggil pelayan yang menunjukkan buku menunya dengan senyum yang ramah. Aku yakin senyum itu hanya formalitas saja. Yang aku tidak habis pikir, bahkan ketika mereka sedih, mereka harus tetap tersenyum untuk para pengunjung kafe.
Setelah memesan secangkir teh panas dan kue stroberi aku mengambil earphone-ku dari dalam saku celana. Ugh, menyebalkan sekali. Earphone-ku kusut. Padahal hanya kutaruh di dalam saku celana.
Aku menancapkannya ke telinga dan menikmati lagu yang kuputar. Mataku tak sengaja menatap seseorang yang berjarak empat meja dariku.
Itu laki-laki kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Fine at All [1/1]
Short StoryIni tentang aku dan dia. Dia yang berbeda. Dia yang apa adanya. Dan dia yang bertemu denganku sore itu. one shot DON'T COPY THIS STORY!!!