Bagian 1 | Awal

24 4 0
                                        

Malang, 15 April 2016

Malang Kota Pelajar, Kota yang sejuk dan nyaman, Kota dengan nuansa hijau pegunungan. Akan membuat siapa saja yang datang akan betah dan krasan.

Tetapi, Malang juga tidak luput dari keluhan penduduknya, tak terkecuali pria yang tengah menggerutu diatas motor KLX warna merah .

Kemacetan pada sepanjang Jl. MT. Haryono memang sudah menjadi momok yang tidak bisa dihindari. Bunyi klakson kendaran seperti sebuah kaset yang sudah tersetel untuk tidak pernah berhenti.

"Ish ... kapan majunya sih!" Gerutu pria itu tak sabaran. Pria berseragam abu-abu yang menunjukan statusnya sebagai pelajar itu terus saja mendumal. Sesekali dia melihat jam warna hitam yang melingkar  di pergelangan tangan kirinya.

TIN ... TIN ...
Sekali lagi pria itu mengklakson kendaraan di depanya. Tak ada perubahan, bergerak pun tidak. Motor memang pilihan tepat untuk menerobos macet seperti sekarang, namun sepertinya pria itu tidak beruntung karena motornya berada ditengah mobil yang mengitarinya. Mau maju di depanya ada bamper jika ditabrak akan bermasalah, mau mundur lebih parah lagi, kap depan mobil pajero warna putih menanti, tergores sedikit panjang urusanya.

Pria itu menghela napas, sebelum bersuara,"Argh ... sial banget gua. Tahu kayak gini mending naik sepeda!"

Perasaan pria itu campur aduk ketika matanya melihat lagi  jam yang kini  sudah menunjukan pukul 06.53 itu artinya 7 menit lagi bel sekolah berbunyi.

"Woi Ardha?"

Mendengar ada yang memanggil, pria bernama Ardha itu menoleh. Seorang gadis mungil dalam arti tidak pendek dan tidak tinggi tengah menatap kearahnya. Ardha hanya mengangkat salah satu alis sebagai respon.

"Boleh nebeng gak? Kita satu sekolah kok, kenalin nama aku Senyum Hutapea bisa dipanggil senyum, kalau Ardha mau manggil sayang juga boleh,"

senyum menjulurkan tanganya kearah Ardha dengan mata menggerling, Ardha yang melihat itu hanya memutar bola matanya malas. Hampir setiap hari dia berurusan dengan gadis seperti ini.

"Sorry, gak bisa!" Jawab Ardha singkat, tanpa menerima uluran tangan senyum. Sedangkan gadis itu tersenyum puas hanya dengan mendengar Ardha bersuara.

"Yah ... padahalkan udah telat, Dha. Macet lagi, please, Bareng ya?" senyum memelas kearah Ardha dengan memasang wajah puppy eyesnya.

Ardha mengha nafas. "Gak bisa!" Tegas Ardha. Tak lama suara klakson memperingatkan mereka untuk segera minggir dari jalan.

Ardha melihat ada celah untuknya keluar dari kepungan mobil-mobil itu. Kemudian menjalankan motornya meninggalkan senyum yang kini tengah menatap punggung Ardha yang hilang dibanyaknya kendaraan.

"Akhirnya ... gua bisa ngomong sama Ardha. Perlu gua buat sukuran nih, hari, tanggal, bulan, tahun, jam, detik, ini bakalan gua catet. Fix kayaknya lo kena Virus cintanya Ardha, Sen," senyum tertawa sumringah baru kali ini dia mendapati berbicara bersama Ardha setelah sekian lama hanya menjadi secret admirer.

TIN ... TIN ...

"Astaga! Iya-iya gua minggir, gak tau ada orang lagi seneng apa?" Kesal senyum pada sipengemudi mobil yang membuyarkan kesenanganya itu.

Ardha terus memacu motor kesayanganya meliuk-liuk diantara banyaknya kendaraan di jalan. 15 menit kemudian motornya sampai kedepan gerbang sekolah SMA PERSADA yang sudah tertutup.

"Sial ... sial ... siall ... apes banget gua hari ini," Ardha melepas helm full facenya, terpaksa ia harus menunggu sampai guru BK datang dan membukakan gerbang, tak cuma itu dia juga harus siap mental diceramahin panjang lebar kaya tol cipularang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARE (you, we, and they)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang