Aku duduk di halte, menunggu kedatangan bus yang ternyata sedikit terlambat. Biasanya aku hanya menunggu kurang dari 5 menit saja.
Astaga panjang umur, baru aku mengeluhkan bus tersebut sudah berada di depanku. Aku naik dan mencari tempat duduk yang nyaman.
Hari ini aku kabur-kaburan dari paman tiriku, aku menyebutnya seperti itu karena ia sangat galak padaku. Pernah ia mendiamiku sampai seminggu lamanya dan itu hanya karena aku pulang sedikit terlambat akibat ajakan nonton teman-temanku. Aku tidak tahu mengapa kedua orangtuaku mempercayakanku pada orang seperti dirinya, meski begitu karena ia tampan jadi aku pasrah saja.
Semenjak ia pernah mendiamiku aku selalu menuruti segala hal peraturan yang ia buat. Apakah ini yang dinamakan bucin? Budak cinta. Meski begitu aku harus berlapang dada saat kudengar kasak-kusuk dari para tetangga yang terdengar kurang menyenangkan. Oh damn, aku patah hati setiap kali ikut menimbrung maid untuk belanja pada abang sayur kompleks.
Sebenarnya ia bukan pamanku apalagi paman tiri seperti yang kusebutkan tadi, awalnya aku tidak mengenalnya hingga dua tahun lalu kedua orangtuaku membawaku kepadanya. Aku tak tahu apa yang kedua orangtuaku rundingkan pada lelaki galak itu, papa hanya mengatakan akan menjalani perjalanan bisnis cukup lama.
Aku memang penakut, aku percaya dengan hal-hal berbau hantu karena salah satu teman SD-ku dulu bisa melihatnya, hingga akhirnya aku nurut saja tinggal di rumah paman Galen daripada aku tinggal sendirian di rumah.
Ah pernah sekali aku dan teman-teman berkunjung ke rumah salah satu teman kelas kami. Kami yang saat itu berjumlah 5 anak tengah latihan menari. Sialnya, di rumah tersebut kami ditakut-takuti dengan berbagai benda melayang dan suara bantingan yang super keras. Akhirnya kami meninggalkan rumah, memutuskan untuk latihan di tempat lain.
Aku turun dari bus dan mulai berjalan menuju kompleks yang tak jauh dari sini. Peluhku bercucuran membuatku terbayang untuk segera sampai di rumah dan memasukan kepalaku ke dalam lemari es.
Membayangkannya membuatku semakin tak sabar untuk segera sampai.
"Siang pak," sapaku dengan cengiran lebar pada satpam yang berjaga di gerbang rumah paman tiriku.
"Astaga non, non kemana saja? Tuan Galen murka di dalam non," katanya sambil membukakan pintu gerbang untukku.
Aku tercengang, sial aku melupakan kebiasaan buruk paman tiriku, ia akan menyalahkan siapa saja jika aku pergi tanpa izin padanya.
Aku bergegas lari setelah mengucapkan terimakasih pada satpam, langsung saja aku dorong pintu rumah besar di depanku, menelusuri lorong dan aku mendapati Paman Galen yang tengah mandi peluh dengan seorang yang kutahu ialah sopir rumah sudah tersungkur di lantai.
"Paman! Apa yang kau lakukan padanya?!" Aku berlari mendekatinya, tatapan matanya setajam jeritan makhluk halus jadi-jadian yang kudengar melalui media video .
Paman mencekal lenganku. "Aku sudah pernah memperingatimu Carissa, ingat?" Aku meringis, menganggukan kepalaku yang terasa akan pecah setiap kali menatap Paman Galen versi Rahwana seperti ini. Wajahnya memerah menahan marah. Dan aku seperti si Anoman, putih pucat. Aku pernah menonton tokoh keduanya di theater.
Jika boleh berharap di situasi yang genting ini, dalam keadaan normal aku akan secantik Dewi Shinta dan Paman Galen tetap jadi Rahwana. Habisnya dia galak sekali.
"Carissa, tatap aku dan ulangi apa yang aku katakan saat itu!" Suaranya menggelegar, astaga kuharap listrik rumah tidak mengalami konslet.
"Tidak boleh pergi dengan lelaki lain, tidak boleh ngemil cabai setan, harus menurut, selalu izin saat bepergian, Ti--"