Aku dalam prahara rindu, berusaha menopang rasa dalam frasa kumuh. Aku berdiri di antara sekatan jiwa yang merela. Bagaimana tidak, hempasan ombak yang kian berganti itu tak henti-hentinya menerkam. Aku dibilik cemohan berusaha merangkak meraih helai demi helai tirai kusam yang bargantung pada seutas benang. Rasanya seperti dicabik oleh kiasan kata yang dilontarkan bait per baitnya.
Aku pulang melawan stigma setelah pergi tanpa pamit, berusaha berdamai dengan hati dalam bantalan hujan rindu. Mentari tanpa sinar menembus batas waktu, demi cerita dibalik terali aku rala menutup kemilau bintang di langit utara.
Dibalik teduh nuasa bumi, dalam prahara mendungnya di langit benua. Bagaimana laut bercerita tentang segala yang di isap langit juga tanah retak di bumi manusia. Oleh sang lelaki ditengah hujan berada ditepi takdir istana jiwa yang kian porak-porandak itu.
Aku ingin pulang, ya ! Bukan padamu lagi, tapi pada dia yang teleh meraih pedihku lalu mengubahnya menjadi tawa, begitu ucapnya. Seketika itu pula langit biru rasanya kian menjadi gelap, batinnya meraba-raba. Tidak ! Aku sedang bermimpi ucapku. Bagaimana tidak, penantian yang memakan jiwanya itu hilang, sirna oleh uraian kata yang membuatnya menerka-nerka. Apa yang telah aku lakukan ? Bisiknya dalam hati. Kini tatapan itu kosong, diam tak bernyawa lagi. Hingga tenggelam dalam rasa piluh, lalu menghilang bersama rasa yang telah mati itu.
Seiring tahun demi tahun telah berlalu, menyisihkan serpihan-serpihan luka yang masih membekas. Sayatan mata pedang yang masih menggenggam juga riuh-riuh rindu yang mengepal erat membuatnya risau. Entah sampai kapan ?Mungkinkah akan selau seperti demikian ?, ucapku. Kegundahan dalam bayang-bayang masa lalu, rasanya senjapun tak ingin menyapa lagi. Begitupun oleh kemilau langit jingga di ufuk barat belahan bumi.
Dalam sajak yang bertuliskan rasa dalam kobaran hati yang luka. Aku terperosok sedalam-dalamnya, aku terbelenggu oleh syair-syair indah yang melok itu. Tumbuh bagai bunga matahari, berkembang dengan begitu pesatnya memuaikan bentuk yang begitu memikat lalu layu hingga mati dengan gampangannya.
Begitupun oleh kepiawain-kepiawaian tata bentuk ulasan kata, kalimat bahkan bahasa yang begitu dengan mudahnya aku terjerumus. Tidak ! Itu tidak mudah bagi sehelai benang basah agar tetap tegak tanpa hempasan.
Renjana panggung nuasa biru dalam bukit peradaban di tanah lada,krikil pesisir itu memacu amukan kapak pada lentera keabadian, mencipta perang bubat di laut tengah, mengasa pudarnya pesona pelangi yang indah di bukit renjani. Logika asa kembang padan kelabu pada rahasia jembatan bumi. Rasa yang bermuara pada ladang lubuk kebencian, kini pupus ditelan amukan ego yang membara.
Riuh gemuruh dalam bahasa kalbu tak tercengangkan. Aku telah berdusta pada rasa keingin tauhan, pada raga yang telah tenggelam dalam kegelapan. Raungan klise bumi prakasa itu kini menjadi bumerang dalam sayatan mata pedangnya. Isak tangis, haru, canda, tawa, bahkan sampai pada sisi gelap batinnya kian berderma.
Dipojok langit-langit bangunan kumuh itu, tampak seutas tali kusut bergelantungan. Nampaknya ia beberapa kali mencoba meraihnya, itu tampak seketika kursi dalam sandaran lantai terngkurap. Ia berusaha bangkit dari lesuhnya, lalu mencoba melilitkan tali pada bagian tubuh antara kepala dan kedua pergelangam bahunya. Ya ! Mungkin itu pilihan terakhirnya kala itu. Mencoba mengakhiri hidupnya, tanpa kata dan tanpa suara. Hanya sedikit hentakan yang mungkin akan terdengar seperti kucing menjatuhkan sesuatu.
Keputus asa'an, amarah, ego dan bahkan prahara-prahara lainnya mengajaknya berdamai dengan cara yang amat tragis. Begitu suramnya cara pandang ketika iblis mulai menjadi pengendali, mengambil alih raga dari jiwa sang pemilik sesungguhnya. Aku terbelanga menyaksikan betapa rapuhnya jiwa-jiwa yang layu, yang penyangganya pamit tanpa rasa belas kasih.
Begitu suramnya ratap yang menyapa dibalik puing-puing bayangan masa lalu. Hingga terdengarnya rupa isak tangis pada sudut langit kelabu. Aku malu, ucapnya. Aku ragu, tambahnya lagi. Harusnya langkahku tak sejauh ini bukan ? Ini terlalu jauh ! katanya. Baginya, hari itu berlalu dengan begitu beratnya.
Benalu yang berumpun pada inangnya itu helai demi helai mulai bertumpuk, memupuk pada keabadian. Berusaha berdamai pada kenyataan, namun lagi-lagi serpihan tumpukan itu meninggalkan bekas yang begitu maraknya.
Hingga suatu ketika, dibawah kaki langit senja dalam balutan perisai selimut biru. Ia terbelenggu pada eratnya dekapan hembusan angin laut tenggara.
Disudut malam yang gelap itu, dibawah langit yg kelam terdengar amarah monoton yang begitu menguras emosi. Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan. Matilah engkau mati, lalu kau akan lahir berkali-kali. Kematianmu akan terlihat seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada akhir kalimat sajaknya. Jangan menganggap bahwa hidup itu adalah serangkaian kekalahan, engkau terlalu kuat untuk itu. Kadang-kadang memang kita harus belajar kecewa untuk mengetahui sekuat apa diri kita.
Kita seharusnya tidak boleh terlalu mempercayai manusia begitu saja. Orang yang berkhianat kadang kala berasal dari orang yang tidak terduga, yang kau kira orang yang sangat mustahil menyakitimu ternyata dia akan menusukmu dari belakang. Pengkhianatan bisa berasal darimana saja, bahkan orang yang berada didepan mata kita sekaligus. Kita juga tidak pernah tau dorongan setia orang untuk berkhianat, bisa saja karena uang, kekuasaan, dendam atau bisa karena rasa takut dan tekanan bahkan bisa saja hanya sekedar hura-hura ataupun kepuasan batin seseorang.
Kita tak boleh jatuh, tak boleh tenggelam dan sama sekali tak boleh terhempas karena peristiwa ini. Kebenaran ada pada tangan bagi mereka yang memihak pada kenyataan. Kita tak boleh terlalu berlama-lama berada pada tekanan perasaan pada satu orang selama puluhan tahun, bukan ? Hanya negara diktatorial yang satu orang bisa memerintah begitu lama, tidak termasuk dengan rasa dan kepercayaan yang kau beri itu.
Kemenangan dari bumi prakarsa tidak akan melahirkan cakralawa-cakrawala yang menjanjikan, itu semua hanya akan menabur dendam semata. Cengkraman dibalik perisai lambat laun akan pupus, musnah dan akhirnya terkalahkan. Jika engkau hanya diam seperti demikian, maka tak akan ada artinya air mata serta isak tangis yang kau buang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEUTAS LUKA dalam RASA
Short StorySebuah kisah tentang asmara, persahabatan dan keluarga.