Sehelai Kain Kafan

141 3 0
                                    

Sehelai Kain Kafan

Mahwi Air Tawar

1/
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.

Tukang bendring datang….

Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.

Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku.

Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.

Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar.

Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.

Ibu mau ke mana? tanyaku.

Menunggu tukang bendring, jawabnya tegas.

Ibu punya uang?

Tidak.

Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk.

Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.

Ju, utangmu!

Sialan, umpat ibu.

Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.

Kumpulan Cerita IslamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang