Hujan Bulan Desember

345 14 8
                                    

Rintik hujan membasahi kota, menghujani bumi pada bulan Desember. Langit kelabu membawa pertanda samar, hawa dingin menyampaikan isyarat. Sang surya masih enggan membagi sinarnya. Aku rapatkan jaket ke tubuhku, sesekali tanganku mengusap satu sama lain, membagi kehangatan untuk tubuhku yang kedinginan di bawah payung. Hujan bulan Desember seakan mempermainkanku, membuat kegiatanku menjadi tak tentu, termasuk pagi ini. Aku harus berjalan dari rumah ke sekolah di bawah payung untuk melindungi diriku dari hujan di pagi ini. Kendaraan yang lalu lalang seakan mengejekku dengan menyemburkan air kubangan pada rokku. Ingin aku memaki setiap kendaraan yang lewat namun aku yakin aku hanya akan menjadi bahan lirikan orang dan mempermalukan diriku sendiri. Langkahku sedikit kupercepat ketika gerbang sekolah mulai muncul di penglihatanku. Aku berlari menuju gedung sekolah, membiarkan air sedikit lagi menjamah pakaianku. Namun, gerakanku langsung terhenti ketika suara klakson motor menyapaku dari belakang.
“Vena! Jangan berlari di tengah jalan!” seru orang itu dari balik helmnya.
Dia, sosok itu. Dia yang selama satu tahun ini kukagumi diam-diam. Dia yang selalu berada di dalam radiusku, namun selalu menjadi pertanda bahaya bagiku, Alkana.
Hujan pada pagi hari membuat kelas masih terlihat sepi di jam ini, hanya beberapa anak rajin yang tidak ingin melewatkan pelajaran yang bahkan gurunya pun tak tahu kapan akan datang. Tanganku terulur mengambil sesuatu dari dalam tasku. Agenda kecil berwarna ungu yang selalu menjadi temanku berkeluh kesah. Sepucuk surat masih terselip di dalamnya sejak satu tahun yang lalu. Surat yang masih kucari pengirimnya, atau sebenarnya surat yang masih kupastikan pengirimnya. Surat yang memunculkan rasa-rasa keingintahuanku. Surat yang memulai segalanya. Surat yang membuatku terjebak pada perasaan ini sejak satu tahun yang lalu.
Pagi itu masih dalam bulan Desember yang sama, masih dalam hari yang sama, masih dalam waktu yang sama, masih dalam hujan yang sama. Juga, masih dalam perasaan yang sama. Hujan masih betah mengunjungi bumi. Sementara waktu pelajaran kosong tinggal tersisa dua puluh menit lagi. Kelas mulai dipadati kawan-kawanku yang semula entah singgah kemana. Dan aku masih merenung, mengenang, dan menyedu. Di hadapanku, sebuah meja dengan permukaan yang  terlihat berantakan tersaji. Tempat pensil yang isinya saling berhambur. Buku tebal nan membosankan milik Fisika, Matematika, juga Bahasa yang saling terbuka entah itu pada materi apa, kertas bekas oret-oretan yang tercecer dan ah agenda unguku. Sejenak ingin kubercerita dengannya tentang secuplik hariku hari ini, keningku berkerut ketika terdapat sebuah amplop yang terselip di halaman tengah agendaku.
Pada hujan yang masih merintik
Pada petrikor yang makin menggelitik
Desember kembali datang
Diajaknya rintik-rintik itu ikut bertandang
Kepada kamu wahai gadis hujan
Temani Desemberku selayaknya aku berangan
Tertanda,
Tiga meja menyilang dari mejamu
Enam baris tulisan tangan khas milik laki-laki. Tidak perlu analisis terlalu mendalam bagaimana aku bisa tahu bahwa tulisan tersebut milik laki-laki. Karena, sepengetahuanku tidak ada siswi dengan tulisan seperti ini, di kelas. Lagipula, clue ‘tiga meja menyilang dari mejamu’ sudah cukup menjelaskan. Aku sudah hafal di luar kepala siapa pemilik meja itu. Ya, dia. Tetapi itu aneh. Sejauh ini,komunikasiku dengannya tidak pernah lebih dari sekadar teman satu kelompok. Ya, aku menyukainya. Tetapi aku bukan tipe orang yang mudah-mudah saja memulai gencatan pendekatan selayaknya gadis-gadis lain di luar sana. Tidak, ini bukan masalah harga diriku yang berada di atas apapun, tentu tidak. Lebih kepada sebuah penyadaran diri terhadap siapa dia dan siapa aku di dalam hierarki yang bekerja di sini. Dia, dengan segala keaktivan organisasi yang meliputi, tentu berada beberapa tingkat di atasku. Sementara aku, yang harus puas hanya dengan mengenal setidaknya satu anak di setiap kelas, jelas tidak sepadan jika disandingkan dengan tingkatannya. Kami memang sejauh itu, tidak peduli sekalipun jarak yang melintang hanya sebatas tiga meja menyilang. Jadi, aku jelas ragu mengenai pengirim surat tadi. Bisa jadi itu hanya orang iseng, kan? Apalagi, mengetahui fakta bahwa sedikit banyak terdapat manusia-manusia iseng di kelas ini. Satu-satunya opsi terbaik jelas tidak berharap banyak akan surat antah berantah itu.
Pandangannya menyelusuri seluruh ruang kelas, mencoba memastikan ‘tiga meja menyilang’ dari mejaku, namun mau aku lihat berkali-kali pun, jawabannya akan tetap sama.Meja itu akan selalu menjadi milknya, karena selama ini hanya dia yang duduk di situ. Hatiku berkata “Itu jelas dia. Mau siapa lagi? Meja itu memang milik Alkana kan? Alkana juga menyukaimu Vena.”,namun pikiranku seolah berkata “Menurutku laki-laki seperti Alkana dengan segudang kesempurnaannya mau bersanding denganmu? Seorang Vena yang tak terlihat”. Batin dan pikiranku berperang, namun pada akhirnya aku tetap menuruti pikiranku, setidaknya untuk saat ini. Kuselipkan amplop itu kembali ke agenda unguku alih-alih ku membuangnya. Begini lah manusia, aku tidak ingin memikirkannya namun justru kusimpan. Bagaimana kenangan itu bisa hilang jika mosaik itu masih tersimpan rapi agendaku?
Lamunanku terhenti ketika sebuah suara menyambutku dari depan. Oh Tuhan, mengapa Kau datangkan dia untuk membangunkan lamunanku tentang masa lalu? Dia juga terlibat di dalamnya Tuhan.
“Vena, kau jadi sering melamun” ucap Alkana.
Kau itu yang sering kulamunkan bodoh. Sekarang kau berdiri di depanku dan merusak segala rasionalitas yang sedang kubangun kuat-kuat. Berada di dekatnya selalu mengacaukan pikiranku. Entah sejak kapan degup ini menjadi tak menentu bila di dekatnya. Entah sejak kapan lidah ini kelu untuk berbicara dengannya. Entah sejak kapan tubuh ini dingin setiap berinteraksi dengannya. Dia memang candu untukku.
“Hari ini kau datang ke acaraku kan?” tanyanya.
“Um y-ya” balasku tergugu.
Bodoh sekali Vena. Apa yang kau lakukan? Kau terlihat bodoh di depannya. Aku merasa pipiku memanas. Alkana terkekeh dan mengacak-acak puncak kepalaku. Oh Tuhan ujian apa lagi ini. Aku tahu tawanya sangat menambah kadar ketampanannya,namun bisakah tangannya tak lancang menyentuh tubuhku? Wajahku semakin merah padam, tubuhku semakin melemas, terlena akan perlakuannya, dia memang benar-benar candu. Kaki panjangnya mulai meninggalkan mejaku.Kuperhatikan setiap langkahnya. Definisi ‘tiga meja menyilang dari mejaku’ memang seharusnya untuknya. Dimana pun kelas kami berada dia akan selalu duduk tiga meja menyilang dari mejaku. “Tuhan apa aku harus mulai mempercayai surat itu?” gadis batinku berdoa. Kumasukkan kepalaku ke dalam jaket dan memilih untuk tidur sambil menunggu kelas ramai.
Hari ini aku pulang malam, aku sudah berjanji akan melihat pertunjukannya. Selama pertunjukkan aku selalu merasa ada yang memerhatikanku, imajinasiku berjalan seiring berjalannya pertunjukan drama. Aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang ada di pikiranku. Segala sesuatu yang baik selalu datang di saat terbaiknya. Persis waktunya. Tidak datang lebih cepat, pun tidak lebih lambat. Itulah kenapa rasa sabar itu harus disertai keyakinan. Selama hati ini masih sama, aku akan terus menunggu, tak tahu akan jawaban akhirnya. Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian. Walaupun ada sedikir rasa sakit yang hinggap pada awalnya. Kalaupun dia tidak tahu kita menyukainya. Kalaupun dia tidak tahu kita merindukannya. Kalaupun dia tidak tahu kita menghabiskan waktu memikirkannya. Maka itu tetap cinta, tidak berkurang se-senti perasaan tersebut.
Hujan bulan Desember memang mempermainkanku. Tadi pagi aku melihat langit sangat cerah, tadi siang mentari bersinar cukup terik, tadi sore beberapa rasi bintang terlihat, dan malam ini hujan turun dengan deras. Hujan saja tak dapat memberi kepastian. Hujan saja dapat hanya memberi harapan. Aku hanya dapat berharap semoga hujan juga dapat memberi pengertian. Waktu menunjukan pukul delapan malam, namun hujan masih betah menggangguku, ponselku pun mati. Aku heran dengan beberapa orang yang menyukai hujan. Rintik hujan masih betah merusuh terhadap atap-atap pelindung gedung. Seolah siap-siap saja menghancurkan seng-seng itu apabila mereka tidak lagi kuat. Tidak peduli betapa banyak nyawa tengah berlindung harap-harap cemas di bawahnya. Tugasnya hanya berjatuhan, memenuhi sumber-sumber kehidupan di bumi, tanpa peduli akibat-akibat lain yang disebabkan oleh dirinya. Tetesan air yang menghulu menyabang menuju hilir memang indah. Namun, apabila datang secara berlebih? Rusak yang ada. Hancur lebur bisa kehidupan bersama gelombang yang tiada terhitung.
Hampir dua jam aku menunggu suntuk di sekolah, hingga suara deruman motor menyita perhatianku. Dari arah parkiran motor itu berhenti di depanku.
“Vena? Kau belum pulang?” tanya Alkana.
“Belum. Aku menunggu hujan reda.”balasku seadanya.
Alkana turun dari motor dan melepas helmnya. Aku menatapnya bingung sedangkan dia yang ditatap hanya tersenyum lebar.
“Aku akan menemanimu hingga hujan reda. Ini sudah malam, tak baik jika seorang wanita sendirian di malam hari. Sebenarnya bisa saja aku mengantarmu pulang, tapi aku tak membawa jas hujan. Aku takut nanti kau kehujanan.” jelas Alkana.
Aku hanya tersenyum dan berterima kasih. Selanjutnya kami kembali terdiam. Oh Tuhan apa aku harus senang atau sedih dengan kehadirannya di sini. Aku hanya diam sembari menghirup pekat aroma tanah lamat-lamat. Sesekali menengadahkan tangan, ingin merasakan hujaman lembut rintik air penuh berkah itu. Alkana, kulirik melalui sudut mataku, entah sedang melakukan apa. Pandangmu hanya lurus terfokus ke depan sana. Seolah menembus telak tetesan air hujan yang turun deras entah untuk apa. Mungkin merenung, mengkhayal, atau yang paling berat merindu. Ya, banyak orang berkata bahwa hujan selalu memiliki kekuatan magis untuk mengundang rindu seseorang. Kami saling diam. Membiarkan hujan menjadi dingin di antara hangat kami.
“Vena, apa kau tahu, apa yang membuat hujan di bulan Desember menyenangkan?” di sisiku, seseorang itu kembali bertutur. Berbeda denganku yang pandangnya terfokus pada rinai-rinai hujan yang berebut turun, maka pandangnya terkunci pada kedua bola mataku yang saling berbinar.
“Karena Desember adalah bulan lahirmu?” aku mencoba menebak. Dialihkannya pandangku terhadapnya, kini. Menghasilkan kedua pasang indra penglihatan kami yang saling bersitatap. Dia terkekeh di sisiku. Lesung pipinya yang tersembunyi mendadak nampak terlihat jelas. Manis sekali jika dipadukan dengan rahangnya yang kokoh.
“Bukan,” dia tersenyum lagi, lesung pipinya semakin dalam terlihat. Kini ia tersenyum ke arahku. Mendadak, sepersekian detik milikki seolah berhenti. Senyumnya benar-benar mengalihkan fokusku. Rintik hujan tidak lagi terlihat menawan. Petrikor tidak lagi berasa menenangkan. Sungguh, dia benar-benar menjadi juaranya saat ini.
“Check! That had to be one of the reason.” tuturnya yang sama sekali tidak bisa aku pahami maknanya.
“Hah?” aku melongo. Ekspresi spontan setiap kali aku tidak paham akan sesuatu. Akan tetapi, dia memang selalu sulit dimengerti.
“Itu alasan mengapa aku suka hujan di bulan Desember untuk sekarang”. Aku meleleh.
“Apa kau ingat surat yang kuselipkan di agendamu satu tahun yang lalu?” tanyanya. Duniaku terhenti. Oh Tuhan itu memang dia. Aku jelas bukan pengendali kontrol yang baik. Aku hanya meresponnya dengan kaget bercampur bingung. Dia terkekeh. Manis. Sangat.
“Surat yang kuselipkan di bukumu. Sudah kau baca?”
“Benar itu darimu?”. Dia mengangguk.
“Tapi, bagaimana bisa?” ,Aku jelas mendengar nada suaraku melirih seiring dua buah iris coklat pekat itu menghujam telak iris kepemilikanku.
“Selalu ada kemungkinan-kemungkinan tidak terduga yang semesta siapkan setiap harinya, kan? Tidak ada kabar adalah kabar, yaitu kabar tidak ada kabar. Tidak ada kepastian juga adalah kepastian, yaitu kepastian tidak ada kepastian. Hidup ini memang tentang menunggu. Menunggu kita untuk menyadari, kapan kita akan berhenti menunggu. Dan kini aku sudah berhenti menunggu. Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri, Kau pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh sang pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Aku pun tak tahu kapan rasa ini tumbuh, tapi yang jelas aku telah menunggu cukup lama untuk memastikannya. Tiap saat aku betengkar dengan batin dan pikiranku.” Tuturnya panjang lebar. Aku tak menyangka kalimat-kalimat seperti itu akan keluar dari mulutnya. Pipiku tak bisa tak mengangkat, bibirku tak bisa tak tersenyum. Aku menunduk mengulum bibirku berusaha menyembunyikan senyum dan wajah merah ini.
“Maukah kau menjawab suratku satu tahun yang lalu?” tanyanya.
“Tahukah kau? Jawabanku adalah seluruh kalimatmu dan pada intinya adalah ya” tuturku. Aku tak kuasa untuk tak tersenyum.
Di bawah hujan bulan Desember semua kenangan indahku terjadi. Di bawah hujan bulan Desember kedua tangan itu saling terpaut satu sama lain. Di bawah hujan bulan Desember kisah baruku akan dimulai. Masih dalam bulan Desember yang sama, masih dalam hari yang sama, masih dalam waktu yang sama, masih dalam hujan yang sama, juga masih dalam perasaan yang sama.
Tak salah kita berharap, justru dengan harapan kita akan bertahan. Harapan dan kenyataan tak selalu sama. Jangan salahkan siapapun jika kau tak suka. Kau sendiri yang memilih untuk berharap.Berharaplah dengan berpikir dan dengan keyakinan. Jangan mudah terpancing oleh keinginan hati. Pikirkan juga dengan akal sehat. Jangan mudah bertindak oleh akal. Dengarkan juga dengan kata hati nurani. Kita memiliki pilihan, ingin menunggu atau melepas. Tak apa jika kau menunggu, biasanya perjuangan tak akan mengkhianati hasil, tapi jangan salahkan siapapun jika tak sesuai yang diharapkan. Kau sendiri yang memilih untuk menunggu.

***

Makasih buat yang udah nyempetin baca, please leave your vote and comment. Itu berarti banget buat aku 😊

Hujan Bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang