JANSEN

51 2 0
                                    

Kubuka mataku remang-remang, blur, perlahan mulai terlihat dengan jelas wajah remaja muda yang tampan dengan kulit putih pucat serta senyum simpulnya mendinginkan hati.
Ya, itu dia...
Lelaki itu...
Dia temanku..
Walau bertahun-tahun namun tak terlihat perbedaan yang mencolok pada raut wajahnya,
Sehingga aku sangat mengenali
Dan mengingatnya.

"Hai William, syukurlah kamu sudah siuman. Tuhan memberimu kesempatan." lirihnya.

"Temanku, siapa namamu?" Kondisiku masih belum begitu fit, sehingga aku tidak banyak bicara bertanya tanya dulu. Sebenarnya sangat banyak yang ingin kukatakan dan kutanyakan pada dia.
"Panggil aku Jansen, Wil. Aku akan selalu bersamamu. Aku sahabatmu. " dia membisikkan dengan suara empuknya.

Mataku lalu tertutup lagi, telingaku berhenti mendengar. Sepi..... Hening.... Sunyi.... Senyap... Gelap. Aku berhenti mendengar dan melihat selama beberapa detik. Hanya terdengar detak jantungku, namun perlahan mulai terdengar keramaian.
Ku buka mata terlihat infus dengan air yang menetes didalamnya, di sekelilingku terlihat ayah, ibu, kakak, adik, dokter, dan beberapa saudaraku yang lain, serta tak lupa Jansen berada disamping kananku dengan mengelus dahiku menggunakan tangan kirinya, sedangkan jari telunjuk tangan kanannya menunjuk diantara kedua lubang hidungnya, artinya aku disuruh diam untuk tidak berbicara tentang dia. Aku sangat paham hal itu, entah kenapa, entah darimana, aku tau maksud Jansen.

"Ibu.. Bagaimana aku bisa disini?"
"Istirahatlah dulu sayang.."
"Aku ingin jawaban sekarang, Bu"
"Kau kecelakaan di Jalan Raya Majamanis - Majajendud, empat temanmu dan warga sekitar yang menolongmu ke rumah sakit."
"Tolong sampaikan terimakasihku kepada warga sekitar, Bu. Lalu siapa yang memberi kabar kepada mamah tentang keadaanku dan keberadaanku?"
"Ibu gak tau namanya siapa, katanya sahabatmu.. Dia tadi ada disini, namun seketika dia menghilang. Dia tampan, kulitnya putih pucat namun wajahnya menenangkan, suaranya lembut merdu. Yang ibu bingungkan dia punya nomor HP ibu darimana? Setelah itu di daftar riwayat panggilan ibu juga gak ada nomor dia lagi. Menimbulkan tanda tanya besar.."
Aku sudah tau bahwa itu adalah Jansen, aku meliriknya, dia hanya tersenyum dan mengkodeku untuk tetap diam.
"Siapapun itu aku sangat berterimakasih kepadanya, Bu."
"Baik sekarang kamu makan ya sayang.."
Aku ingin bercengkerama dengan Jansen. Tapi aku tau, Jansen tak mau diajak berbicara kalau ia sedang bersama banyak orang.
"Nanti saja, Bu. Aku ingin istirahat lagi dan butuh ketenangan. Aku mohon semua orang untuk keluar dari kamar ini."

Merekapun keluar kamar dengan tertib, kini tinggal aku dan Jansen yang di kamar.

Terimakasih, Tuhan
Terimakasih Kau telah mengkabulkan doaku
Terimakasih Kau memberikan kesempatan kepadaku
Terimakasih Kau mempertemukan aku dengan Jansen
Puji Engkau Wahai Tuhanku
Alhamdulillah

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mengapa Mereka (tak) Melihatnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang