Ku tuliskan sajak namun tiada engkau mengerti.
Hanya kata itu yang tersemat dalam benakku.Sampai seseorang menepuk punggungku.
"De,, keluar yuk!" ajak lelaki itu sambil menarik tanganku.Aku hanya terdiam, mengikuti kemana langkah kakinya pergi.
"Des, malam tahun baru nih jangan diem aja!" serunya.Senyap yang Shine dapat, karena aku sedang dalam kegundahan.
"Ada apa sih Desya, aku perhatikan kau murung saja." Tebaknya."Cukup Shine, jangan kamu menebak apa yang kamu nggak tahu!" Bentak Desya.
"Ada apa Des, cerita sama aku?"
"Percuma Shine, kamu nggak akan mengerti dan memahami apa yang aku alami."
"Cerita saja Des, setidaknya dengan bercerita kamu bisa lebih tenang."Aku hanya diam mendengarkan ucapan Shine, melangkah dan berlalu meninggalkannya.
Lari kecilku di antara pepohonan yang rindang, di sertai rintikan air mulai menetes di atas ubun-ubun."Deees." teriak Shine.
Tiada ku indahkan teriakannya yang melengking, memekikkan namaku.
"Des, tunggu!" Panggil Shine dan memegang lenganku.
"Apa Shine?" tanyaku.
"Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik untukmu Des."Tatapanku mulai kosong seraya memeluk Shine dengan erat.
"Maafkan aku Shine, aku tak menyangka kau sebaik ini padaku."
"Kenapa tidak?, kita sahabat dan akan selalu menjadi sahabat."
"Aku tak tahu harus mulai dari mana Shine, aku tak mengerti atas jalan pikiran kedua orang tuaku."Aku berjalan perlahan dengan menceritakan semua kepada Shine, mungkin tak layak untuk di urai.
Tapi rasaku kini menjadi hambar, saat orang tuaku mulai menelantarkanku dalam gelap."Cukup!" Jemari Shine mencekat ucapanku."
"Shine, aku ingin pergi berlalu dari segalanya."
"Lalu, apa yang akan terjadi? Kau mau lari, pergi?. Silahkan, saja tapi ingat dengan kepergianmu Kau menunjukkan kekalahanmu." Jelas Shine.
"Lalu aku harus apa sekarang, mereka tak indahkan diriku."
"Buatlah dirimu tenang, jernihkan pikiranmu."
"Bagaimana caranya?" Tanyaku.
"Dirimu, hanya diri kamu sendiri yang mampu dan tahu caranya."Ucapan Shine tetap membuatku tak mengerti.
"Gunakan logikamu Desya, apa yang kamu alami ini hanya sebagai bumbu dalam kehidupanmu. Jangan kau anggap setiap masalah hanya memojokkanmu, tapi lihat sisi lain kehidupanmu.""Shine, aku tak mengerti yang kau katakan."
"Saat ini kamu sedang di liputi mendung yang ada dalam hatimu, mari kita rehat sejenak."
"Rehat?" Tanyaku.
"Ya, kau perlu memusatkan pikiranmu kearah yang positif. Mari ikuti aku." Seraya menarik tanganku.Kami berjalan di antara malam yang di penuhi kunang-kunang.
Pepohonan yang menghiasi perbukitan."Coba lihat, di sana ada banyak gedung dengan pondasi yang kuat." Ucap Shine yang tengah duduk.
"Tentu saja, lalu?"
"Kau bagaikan gedung-gedung di perkotaan dan orang tuamu adalah pondasinya."
"Lalu?"
"Jika orang tuamu adalah pondasi, maka kau harus kuat karena ada mereka dalam kehidupanmu. Pikirkan baik-baik, apa yang mereka ucapkan bisa jadi baik untukmu."
"Tapi aku tak suka aturan-aturan itu."
"Cukup dengarkan mereka, cerna dan lakukan. Jangan kau tolak mentah-mentah, jalani dulu."Aku mulai bisa mencerna apa yang Shine katakan.
Orang tuaku memang sosok paling berpengaruh dalam hidupku, harapan terbesarku hanya ingin hubungan kami terjalin harmonis.Tapi, ternyata sikapku yang bertentangan membuatku jauh dari mereka dengan alih-alih tak searah.
Malam yang semakin larut, dimensi waktu berlalu dan sadarkan aku. Orang tuaku adalah segalanya untukku.